PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Munculnya berbagai klaim mengenai
ilmu pengetahuan berasal dari Barat dan menuai puncaknya di Barat, maka dengan
demikian muncul pulalah berbagai perkembangan pemikiran kritis dari beberapa
cendekiawan maupun intelektual muslim. Seperti halnya Ismail Raji Al-Faruqi dan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang mencetuskan dan mengembangkan konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai langkah kongkret baik dalam merekonstruksi
maupun dekonstruksi beberapa klaim yang sudah di terstigma di dunia.
Nama besarnya telah membelah
perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang
penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek
keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT)
di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat dia pula agenda besar
‘Islamisasi ilmu pengetahuan’ hingga kini tumbuh dan berkembang di berbagai
negara, proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau
hasilnya tak optimal. Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok
cerdik yang sangat dihormati dan disegani berbagai kalangan intelektual dan
ilmuwan, Islam dan Barat.
Sudah tiba saatnya bagi cendekiawan
muslim untuk meninggalkan metode-metode asal tiru dalam reformasi pendidikan
islam. Reformasi pendidikan hendaklah islamisasi pengetahuan modern. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, maka sains-sains sastra, sosial, dan sains alam harus
disusun dan dibangun ulang, diberikan dasar islam yang baru, dan diberikan
tujuan-tujuan baru yang konsisten dengan islam. Setiap disiplin ilmu harus
dituang kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip islam di dalam
metodologinya, di dalam strateginya, di dalam apa yang dikatakan sebagai
data-datanya, problema-problemanya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.
Keprihatinan Faruqi terhadap kondisi
umat Islam yang tenggelam dalam adopsi sistem pendidikan barat, maka
menurutnya, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa
dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa
kini dan keilmuan barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang
rahmatan li al ‘alamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang
kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integral[1].
Maka dari itu pembahasan mengenai
Islamisasi ilmu pengetahuan dirasa menarik untuk dikaji. Sebab Islamisasi ini
lah yang diasumsikan sebagai perebut tonggak kejayaan yang pernah diraih oleh
umat Islam ketika di Spanyol.
II.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui biografi Ismail Roji al-Faruq
2.
Mengetahui pemikiran Ismail Roji al-Faruq tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan
3.
Mengetahui kontribusinya terhadap pendidikan islam
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ismail Roji Al-Faruqi
Ismail Raji Al Faruqi dilahirkan di daerah Jaffa, Palestina, pada 1
Januari 1921, sebelum wilayah ini diduduki Israel[2].
Saat itu Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab. Al
Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926 hingga 1936.
Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut.
Gelar sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah
kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris
selama empat tahun, sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang
terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel,
hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun
menggeluti dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang
filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master
keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On
Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang
Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Namun apa yang dicapai
ini tidak memuaskannya, sehingga ia kemudian mendalami ilmu-ilmu keislaman di
universitas al Azhar Cairo[3].
Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana.
Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas
Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun. Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi
mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill,
Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke
Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan
kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program
pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah
ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat
Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara,
seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran.
Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago.
Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei
1986, di Philadelphia.
Karya-Karya
Ismail Raji Al-Faruqi
Faruqi mewariskan tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku,
yang mencakup berbagai persoalan; etika, seni, sosiologi, kebudayaan,
metafisika, dan politik. Di antara karyanya yang terpenting adalah: Islamization
of Knowledge: General Principles and Workplan (1982) (diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia dengan judul Islamisasi Pengetahuan), A
Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis
Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi
Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (1986)
(diterjemahkan dengan judul Atlas Budaya Islam; Menjelajah Khazanah Peradaban
Gemilang ), Islam and Culture (1980)
(Islam dan Kebudayaan), Al Tawhid; Its Implications for Thought and
Life (1982), Islamic Thought and Culture, Essays in Islamic
and Comparative Studies[4].
B.
Pemikiran Ismail Roji Al-Faruqi
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai
kajian tentang Islam di berbagai negara –Pakistan, India, Afrika Selatan,
Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi– ini sangat terkenal dengan konsep
integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan agamanya,
ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu
dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Al Faruqi menegaskan tiga sumbu
tauhid (kesatuan) untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama,
adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala
disiplin harus mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai
kebenaran. Dengan demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains
bersifat aqli (rasional) dan beberapa sains lainnya
bersifat naqli (tidak rasional): bahwa beberapa disiplin ilmu
bersifat ilmiah dan mutlak sedang disiplin lainnya bersifat dogmatis dan
relatif. Kedua, adalah kesatuan hidup. Berdasarkan kesatuan hidup ini
segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan
demikian tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang
disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral. Ketiga, adalah kesatuan
sejarah. Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima
sifat yang ummatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia,
dan mengabdi kepada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. Dengan
demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan kedalam sains-sains yang bersifat
individual dan sains-sains yang bersifat sosial, sehingga semua disiplin
tersebut bersifat humanistis dan ummatis[5].
Dalam kaitannya dengan islamisasi
ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan
sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepadaNya. Ini berbeda
dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15 mereka sudah tidak
berterima kasih kepada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri. Mereka telah
memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan agama[6].
Al Faruqi memandang dalam
prinsip-prinsip pokok metodologi Islam[7],
bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan, yang
selanjutnya merupakan prasyarat untuk menghilangkan dualisme kehidupan, dan
untuk mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummah, maka pengetahuan
harus diislamisasikan. Islamisasi pengetahuan harus mengamati sejumlah prinsip
yang merupakan esensi Islam. Dan untuk menuang kembali disiplin-disiplin
dibawah kerangka Islam berarti membuat teori-teori, metode-metode,
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1) Keesaan Allah, 2) Kesatuan
alam semesta, 3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, 4) kesatuan hidup,
dan 5) Kesatuan umat manusia.
Rencana kerja islamisasi pengetahuan
yang digagas oleh al Faruqi bertujuan untuk 1) penguasaan disiplin ilmu modern,
2) penguasaan khazanah Islam, 3) penentuan relevansi Islam bagi masing-masing
bidang ilmu modern, 4) pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu modern, dan 5) pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang
mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt[8].
Sedangkan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi Pengetahuan adalah menurut
Al-Faruqi ada 12 langkah[9][ix],
sebagai berikut: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2)
Survei disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam: sebuah Antologi.4)
Penguasaan khazanah Islam tahap analisa. 5) Penentuan relevansi
Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap
disiplin ilmu modern: perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis
terhadap khazanah Islam: tingkata perkembangannya dewasa ini. 8) Survei
permasalahan yang dihadapi umat islam. 9) Survei permasalahan yang dihadapi
umat manusia. 10) Analisa kreatif dan sintesa. 11) Penuangan kembali disiplin
ilmu modern ke dalam kerangka islam: buku-buku daras tingkat universitas. 12)
Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
Djakfar[10]
memandang bahwa langkah-langkah islamisasi ilmu seperti itu intinya adalah
upaya untuk mempertemukan khazanah pengetahuan modern ke dalam kerangka Islam.
Nampaknya pola pikir seperti ini yang ditantang keras oleh Ziauddin Sardar.
Dalam hal ini Sardar bertolak dari paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan
Islam yang perlu direlevansikan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru
sebaliknya, Islamlah yang harus dikedepankan, dalam arti ilmu pengetahuan
modern yang dibuat relevan dengan Islam karena secara apriori Islam bersumber
dari wahyu membawa kebenaran sepanjang masa.
Lebih jauh Sardar mengemukakan agar
pertama sekali yang harus dibangun adalah pandangan dunia Islam (islamic world
view) atau agenda yang pertama kali harus dikedepankan bagaimana membangun
epistemologi Islam yang berdasarkan al al-Qur’an’an dan hadits ditambah dengan
memahami perkembangan dunia kontemporer.
Husni Rahim[11]
lebih jauh memandang bahwa menurut al Faruqi, proyek islamisasi ilmu pengetahuan
harus dapat membangun kerangka filosofis baru yang berpusat pada konsep yang
paling fundamental, yakni tawhid (keesaan Tuhan). Dalam pandangannya, basis
tawhid itu dapat mengatasi sekaligus keterbatasan-keterbatasan, baik yang
diderita oleh kerangka keilmuan modern maupun kerangka pemikiran klasik.
Sulfikar Amir[12]
dalam menanggapi gagasan-gagasan Al Faruqi berpendapat bahwa keinginan atau
obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk
romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya
sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat
membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena
itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke
arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru
dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang
mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan
dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada
proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai
Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa
harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini
sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh
Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu
melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak
memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita
melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan
(sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang
dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah
sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara
historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin
eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen
sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan
bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi seperti
ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains
ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan
adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi
pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena
bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas”
nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan
universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas
justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap
berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak
lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang
lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa
sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya
selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas
dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis
muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.
Bisa dipahami di sini bahwa Al-
Faruqi pada tahap ini masih sebatas menawarkan konsep Islamisasi Pengetahuan.
Konsep-konsep tersebut kemudian bergulir di masyarakat muslim dan menimbulkan
pro-kontra terhadap ide islamisasi pengetahuan tersebut. Di Universitas Islam
Negeri Malang sendiri, searah dengan islamisasi pengetahuan itu, telah
dimunculkan konsep pohon ilmu yang akan dikembangkan di kampus tersebut.
C.
Kontribusi pemikiran Ismail Roji al-Faruqi terhadap pendidikan
islam
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya
untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang ia kemas dalam bingkai
besar ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, itu dituangkan dalam banyak tulisan,
baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam
berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah
dipublikasikan.
Gagasan ‘Islamisasi ilmu
pengetahuan’ tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam
institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika
Serikat, yang kemudian menerbitkan bukunya dengan judul “Islamization of
Knowledge: General Principles and Workplan” pada tahun 1982.
Tak cukup dengan IIIT saja, ia
dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972.
Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika
tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya
bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh
dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan ‘resep’ pengobatan agar kemajuan dan
pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep
Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan
PENUTUP
Kesimpulan
Gagasan Islamisasi
Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al Faruqi patut dicermati oleh segenap
cendekiawan muslim sebagai gagasan yang timbul karena sejarah umat islam
sendiri yang mengalami pasang surut. Romantisme sejarah seakan menjadi pemicu
utama munculnya gagasan ini. Dan kemudian, disinilah perlunya setiap muslim
mengenal sejarah kebudayaan Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Arifinsyah, Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi Tentang Pluralitas
Agama, Balitbangsumut
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dan
Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, Jakarta, Paramadina
Husni Rahim, 2004, UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi
Keilmuan, dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan
Islam, Malang, UIN Press
Ismail Raji Al Faruqi, 1982, Islamisasi
Pengetahuan, Penerbit PUSTAKA – Perpustakaan Salman ITB, Bandung
Kamaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan
Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta, UI Press
M. Bashori, Islamisasi Ilmu, dalam Harian Pelita, edisi
24 Nopember 1991
Muhammad Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu
Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, UIN Malang
Ziauddin Sardar, 1998, Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau
Westernisasi Islam, dalam Jihad Intelektual, terj. Priyono,
Surabaya, Risalah Gusti
[1] Ziauddin Sardar,
1998, Islamisasi
Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam, dalam Jihad
Intelektual, terj. Priyono, Surabaya, Risalah Gusti, hal 44-45
[2] Azyumardi Azra,
1996, Pergolakan
Politik Islam dan Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernism, Jakarta,
Paramadina, hal. 49
[3] Ibid, hal 49
[4] M. Bashori, Islamisasi
Ilmu, dalam Harian Pelita, edisi 24 Nopember 1991
[5] Dalam pengantar
buku Islamisasi
Pengetahuan. Hal ini ditulis untuk menanggapi kenyataan sejarah
umat islam yang sejak masa kemundurannya kemudian mengadopsi paham dikotomi
ilmu.
[6] Kamaruddin
Hidayat dan Wahyuni Nafis, 1995, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta,
UI Press, hal 113
[7] Ismail Raji Al
Faruqi, 1982, Islamisasi Pengetahuan, hal
55-96
[8] Ibid, hal
98
[9] Ibid, hal 99-116
[10] Muhammad
Djakfar, 2004, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Memadu
Sains dan Agama; Menuju Universitas Islam Masa Depan, UIN
Malang, hal 83
[11] Husni Rahim,
2004, UIN dan
Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan, dalam Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Malang, UIN Press, hal.54
[12] Sulfikar
Amir. Mahasiswa
Program PhD, Department of Science and Technology Studies Rensselaer
Polytechnic Institute, Amerika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar