PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
AL-Qur’an telah merambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membentuk pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur’an menunjukkan bahwa materi bukanlah suatu yang kotor dan tanpa nilai, karena padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta kegaiban dan keagungan alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah dan al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan keghaiban, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahtaraan hidupnya. Oleh karena itu al-Qur’an membawa manusia terhadap Allah melalui ciptaannya dan realitas konkrit yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah sesungguhnya yang terdapat pada ilmu pengetahuan yang mana mengadakan observasi lalu menarik hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat mengetahui tentang segala hal yang telah diciptakan oleh Allah melalui observasi yang teliti dan terdapat hukum-hukum yang mengatur gejala alam dan al-Qur’an menunjukkan kepada realitas intelektual yang maha besar, yaitu Allah SWT, lewat ciptaannya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. TAFSIR SURAH ALMUJADALAH, 58:11; AZ-ZUMAR, 39:9; AT-TAUBAH, 9:122? B. IMPLIKASI KEPADA PENDIDIKAN ?
B. IMPLIKASI KEPADA PENDIDIKAN ?
PEMBAHASAN
A. TAFSIR SURAH ALMUJADALAH, 58:11; AZ-ZUMAR, 39:9; AT-TAUBAH, 9:122 QS. Al-Mujadalah, 58 : 11.
يَاَيُّهاَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّخُوْا فِيْ الْمَجَالِسِ فَافْسَخُوْا يَفْسَخِ اللهُ لَكُمْ، وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا مِنْكُمْ، وَالَّذِيْنَ أُتُواالْعِلْمَ دَرَجَاتٍ، وَاللهُ بِمَا تَعمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan keoadamu:”berlapang-lapanglah kamu dalam majelis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:”berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berkenaan dengan asbabun nuzul, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khatim dari Muqatil bin Hayyan, ia berkata: “pada suatu hari, yaitu hari jum’at, Rasulullah berada di suffah mengadakan pertemuan di suatu tempat yang sempit, dengan maksud menghormati pahlawan-pahlawan perang Badar yang terdiri dari orang-orang Muhajirin dan Anshar. Beberapa orang pahlawan perang Badar itu terlambat datang, di antaranya Sabit bin Qais. Para pahlawan perang Badar itu berdiri di luar yang kelihatan oleh Rasulullah mereka mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum Ayyuhannabi wabarakatuh. “Nabi menjawab salam, kemudian mereka mengucapkan salam pula kepada orang-orang yang hadir lebih dahulu dan dijawab pula oleh mereka. Para pahlawan perang Badar itu tetap berdiri, menunggu tempat yang disediakan bagi mereka, tetapi taka da yang menyediakannya. Melihat itu Rasulullah merasa kecewa, lalu mengatakan kepada orang-orang yang berada di sekitarnya dengan mengatakan, berdirilah, berdirilah. Dari riwayat inilah ayat ini diturunkan.
Berikutnya berkenaan dengan kandungan ayat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kata (تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا ) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha, yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) unsyzu terambil dari kata (نشوز) nusyuz, yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktifitas positif. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan lama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata ( مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW. memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun jika Anda-wahai yang muda-duduk di bus atau di kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, adalah wajar dan beradab jika Anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derejat-derajat, yakni yang lebih tinggi daripada yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja, yang dimaksud dengan ( الّذين اوتواالعلم) alladzina utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berati ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan. Ilmu yang di maksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘Ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilmu adalah bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarang buku Mu’jam Maqayis al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (indrak al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.
Ada dua jenis pengetahuan, yaitu:
1. Pengetahuan biasa
Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, sepperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya.
2. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakaan, dan kegunaan pengetahuan.
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Allah mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada samar bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa yang durhaka di antara kamu. Orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuni-Nya .
Dari ayat tersebut dapat diketahui tiga hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada di majelis Rasulullah SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari Rasulullah SAW yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang agung.
Kedua, bahwa perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majelis, tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan, karena cara damikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama orang yang berada di dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar nasihat-nasihat (wejengan) Rasulullah SAW.
Ketiga, bahwa pada setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan akhirat.Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada setiap orang islam.Atas dasar inilah Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut selalu meolong sesama saudaranya.
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(9) [الزمر/9
Artinya (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Al-Qanit: orang-orang yang melakukan ketaatan yang diwajibkan kepadanya. Anna ‘l-lail: saat-saat malam. Yuhdzaru ‘l-Akhirah: takut kepada azab diahirat.
Setelah Allah swt. menerangkan sifat-sifat orang musyrik yang sesat dan menyebutkan celaan terhadap mereka serta tidak tetapnya mereka dalam beribadah; karena mereka kembali kepada Allah pada saat mengalami kesusahan dan kembali kepada patung-patung ketika mengalami kesenangan, maka dilanjutkan dengan menyebutkan hal ikhwal orang-orang mukmin yang tekun melakukan ketaatan, yaitu yang hanya bersandar kepada Tuhan mereka saja dan hanya kembali kepada-Nya saja, serta mengharapkan rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya.
Makna ayat ini menjelaskan tentang adanya dua macam kehidupan. Kehidupan pertama ialah yang gelisah langsung berdoa menyeru Tuhan jika malapetaka datang menimpa dan lupa kepada Allah bila bahaya telah terhindar. Dan kehidupan yang satunya lagi, yaitu kehidupan mu’min yang selalu tidak lepas ingatannya dari Tuhan baik ketika berduka atau ketika bersuka orang itu tetap tenang dan tidak kehilangan arah, tetap berdiri tegak mengerjakan sembahyang bahkan qiyamu al-lail
Nabi disuruh lagi oleh Tuhan menanyakan, pertanyaan untuk menguatkan hujjah kebenaran; “katakanlah! Apakah akan sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan?” Pokok dari semua pengetahuan ialah mengenal Allah. Tidak kenal Allah sama degan bodoh. Karena kalaupun ada pengetahuan, padahal Allah yang bersifat maha Tahu, samalah dengan bodoh. Sebab dia tidak tahu akan dibawah kemana diarahkannya ilmu pengetahuan yang telah didapatnya itu .
Sampai kelangitpun pengetahuan, cuma kecerdasan otak. Belumlah mencukupi kalau tidak ada tuntunan jiwa. Iman adalah tuntunan jiwa yang akan jadi pelita bagi pengetahuan.
Albab kita artikan akal budi. Dia adalah kata banyak dari lubb, yang berarti isi atau inti sari, teras. Dia adalah gabungan diantara kecerdasan akal dan kehalusan budi, dia meninggikan derajat manusia.
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ attaubah ayat ١٢٢
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (attaubah:122)
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad serta ancaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju kemedan juang. Ini tidak pada tempatnya, karena ada arena perjuangan lain yang harus dipikul.
Terbaca diatas bahwa yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang tinggal bersama Rasul saw. dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul saw.
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua kemedan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan beberapa dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat ntuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi pesukan yang ditugaskan Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas.
Ayat ini menggaris bawahi terlebih dahulu motivasi bertafaqquh memperdalam pengetahuan bagi mereka yang dianjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh. Memang harus diakui, bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan agama harus memahami arena, serta harus memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti tidak dapat dilakukan oleh mereka yang tidak terlibat dalam perang. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa yang tidak terlibat dalam perang itulah yang lebih mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu dari pada mereka yang terlibat langsung dalam perang.
B. IMPLIKASI KEPADA PENDIDIKAN
Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Keterkaitan ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut.
1. Tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan prilaku tertentu yang dalam konteks islam adalah agar menjadi seorang muslimyang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan funsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, salah satu sarana untuk mencapai tujuan tersbut adalah adanya upaya pengajaran.
2. Dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi dan sebaginya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Dari proses tersebut akan terciptalah pemahaman, penghayatan, dan pengalaman.
3. Melalui pendidikan pula, diharapkan lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dan seterusnya.
4. Dalam pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Yakni untuk membawa manusia semakin mampu menagkap hikmah di balik ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah SWT.
5. Pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an, aan menjauhkan manusia dari sikap tercela ( madzmumah)
PENUTUP
A) KESIMPULAN
Allah akan lebih meninggikan derajat orang-orang yang beriman serta berilmu pengetahuan, dibandingkan dengan orang-orang yang hanya sekedar beriman saja.
Ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah
Perbandingan orang yang beruntung (selalu taat pada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya) dengan orang yang rugi (kafir).
Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan orang bodoh.
Dengan memperdalam ilmu pengetahuan maka kelak kita akan mengamalkan/mengajarkannya kepada Saudara-saudara kita yang tidak mengetahui, agar supaya kecerdasan umat islam dapat meningkat
Umat islam yang berpengetahuan haruslah menjadi Mercusuar bagi umatnya, mengamalkan ilmunya, dan membimbing orang lain agar Mendapatkan ilmu.
Menunut ilmu haruslah di dasari dengan niat yang baik agar apa yang kita pelajari dapat bermanfaat dan insyallah akan memperoleh pahala dari Allah SWT.
Dengan menuntut ilmu pula insyaalah kita dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
___ Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXVIII. Semarang: Toha Putra, 1989
___Bahreisy, H Salim, Terjemah Singkat Tafsir IBNU KATSIR jilid IV. Surabaya: pt bina ilmu, 1988
___ Bahreisy, H Salim, Terjemah Singkat Tafsir IBNU KATSIR jilid 7. Surabaya: pt bina ilmu, 1992
___ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Depok : Adwaul bayan (cv. Dua sehati), 2012
___ Nata, abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
___ Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar