Selasa, 31 Mei 2016

Kedudukan Wanita Dalam Islam


PENDAHULUAN 

1 .     Latar Belakang

"Wanita adalah tiang negara. Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya dan bila rusak wanitanya maka rusaklah negaranya" (Hadis)
Masalah wanita telah lahir sejak pertama kali wanita itu ada di permukaan bumi ini. Persoalan wanita menjadi persoalan yang persoalan yang penting dan serius sehingga tak henti-hentinya dibicarakan oleh bangsa-bangsa didunia ini. Perbincangan itu tidak hanya dilakukan dikalangan wanita itu saja tetapi juga menjadi perbincangan di kalangan pria. Hal ini adalah wajar karena wanita menjadi pendamping hidup bagi kaum pria.
Dahulu wanita dipandang sangat rendah baik oleh bangsa-bangsa di Timur maupun Barat, juga menurut pandangan agama yang ada sebelum agama Islam. Hak-hak wanita tak pernah diberikan, mereka begitu tertindas. Wanita dianggap tak lebih dari sebagai pengembang keturunan dan menjadi pelayan bagi suaminya bahkan kadang dianggap hanya untuk pemuas nafsu para pria. Wanita hanya boleh bekerja dalam rumah tangga suaminya atau bagi yang belum menikah dirumah orang tuanya dipingit (dikurung).
Berkat perjuangan wanita yang telah sadar dan bangkit dari ketertindasan kaum pria, muncullah wanita-wanita yang tidak hanya mampu mengurus rumah tangga tetapi telah mampu menyaingi dan menyamai kedudukan kaum pria baik dalam pekerjaan maupun dalam pendidikan. Wanita kini banyak yang telah menempati posisi penting yang sebelumnya hanya menjadi milik kaum pria.

2.     Rumusan Masalah

A.    Bagaimana pandangan agama tentang wanita ?
B.     Bolehkah seorang wanita menjadi pemimpin dalam pandangan agama islam? 

3.      Tujuan masalah

Agar kita semua mengetahui posisi wanita dalam pandangan agama dan peran mereka dalam keluarga bahkan Negara dan juga supaya kita lebih mengetahui tentang persoalan wanita yang dimana selalu di debatkan oleh orang – orang sekarang.

PEMBAHASAN

A.   Wanita dalam pandangan agama

Agama-agama yang ada selain Islam memandang rendah terhadap wanita sebagaimana yang disebutkan dalam kitab agama yang mereka tulis. Misalnya dalam agama Hindu, Berahma memandang wanita dengan sangat rendahnya seperti dituliskan oleh Manu yang dikutip Glen kamarisah Thahar[1]:

Orang kehilangan kehormatan karena perempuan, dan asal permusuhan adalah perempuan. Perempuan memiliki tabiat menggoda laki-Iaki dan tidak pernah dapat mandiri. Wanita.tLdak diperkenankan menuruti kehendaknya sendiri tapi harus tunduk kepada orang tua (yang belum menikah) atau pad a suaminya. Wanita itu sama dengan budak belian yang punya satu tuan yakni suaminya.

Kita melihat dalam pelaksanaan keagamaan orang hindu bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya maka harus rela dibakar hidup-hidup sebagai tanda kesetiaann dan kecintaan seorang istri terhadap suaminya. Betapa menyedihkan nasib wanita, padahal kalau seorang suami yang ditinggal mati oleh istrinya, tidak disuruh untuk menyertai isterinya dibakar.
Dalam pandangan agama Yahudi seorang wanita dijadikan Tuhan dengan mencabut tulang Nabi Adam, apabila seorang wanita melahirkan anak laki-Iaki dia menjadi najis selama satu minggu tetapi jika dia melahirkan anak perempuan dia menjadi najis dalam dua minggu. (Imamat pasal 12:2). Ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan laki-laki dengan perempuan. Setiap orang yahudi laki-laki dalam sembahyangnya setiap pagi memujakan "Terpujilah Tuhan yang telah membuatku tidak perempuan" Dan perempuan Yahudi bersembahyang mengucapkan. "Terpujilah Tuhan Robbul Alamin, bahwa la membuat aku menurut kehendaknya"[2]
Sementara dalam agama kristen disebutkan dalam perjanjian baru bahwa: "Tetapi aku suka kamu mengetahui, bahwa kepala tiap laki-laki itu Kristus dan kepala perempuan itu Laki-laki dan kepala Kristus itu Allah". (Korintus I pasal 11: 3). Diayat lain dinyatakan agar wanita itu tunduk dan patuh pada suami karena laki-laki yang menjadi suaminya adalah pemimpin bagi istrinya. Sehingga dalam sidang Jumat wanita dilarang untuk berbicara kalaupun dia ingin bertanya cukup pada suaminya dirumah, karena wanita tidak punya hak untuk berbicara dalam sidang jumat.
Dalam agama Kong Hu Chu wanita direndahkan dan laki-laki itu disucikan sebagai tanda kesucian mereka itu, wanita dilarang duduk bersama-sama dengan mereka untuk menuntut ilmu.
Dalam pandangan Islam tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan wanita. Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin telah mengangkat derajat kaum wanita dari penindasa dari ajaran-ajaran sebelumnya. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita itu sama yakni mempunyai hak dan kewajiban dan tidak ada yang lebih dimuliakan kecuali orang yang lebih bertaqwa.
Islam adalah konsep aturan-aturan yang maha Pencipta untuk manusia adat. Ajaran Islam menetukan keseimbangan tindakan manusia dengan hukum alam. Islam menuntun manusia pria dan wanita, dalam melaksanakan tugas kehidupannya sebagai khlifah dimuka bumi.
Islam yang telah digariskan dalam al-Quran bukanlah risalah tentang filsafaht, namun mengungkapkan secara eksplisit tentang tiga topik filsafat alam semesta, manusia dan masyarakat. Dalam pandangan tentang pria dan wanita al-Quran menerangkan bahwa keduanya dalam penciptaannya pada hakikatnya berasal dari satu jiwa dan sifat serta esensi yang sama pula.

Wahai sekalian manusia, bertqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan daripadanya tuhan menciptakan pasangannya dan daripada keduanya diperkembang biakkan laki-laki dan wanita yang banyak. (QS 4: 1).

 Disini jelas ditekankan bahwa tidak adanya adat perbedaan derajat antara pria dan wanita. Dengan kata lain tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Keduanya memang tidak diciptakan dalam bentuk yang sama persis, melainkan sebagai pasangan yang saling melengkapi manusia. Pasangan ini memiliki kemampauan yang berbeda, laki-laki lebih kuat fisiknya sehingga dapat bekerja yang berat sedangkan wanita fisiknya lembut, memungkinkan baginya pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan dalam kesabaran. Jiwa laki-Iaki lebih mudah bergalak dan lebih kasar sedangkan wanita lebih tenang dan lebih halus, yang membutuhkan pengayoman. Perbedaan in selintas menunjukkan masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tetapi bila ditelaah lebih jauh, ini merupakan sinkranisasi alam yang harmonis bila dipadukan.
 Ketentuan Islam dalam meletakkan posisi pria dan wanita berdasarkan pada bakat dan kecendrungan alam yang mereka alami, tanpa pemaksaan yang tidak sesuai dengan kondisi alami pria dan wanita. Karenanya posisi yang digariskan islam disesuaikan dengan identitas yang has dan selaras dengan apa yang ada pada pria dan wanita.
Islam memberikan hak-hak wanita yakni sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam antara lain:
>  Wanita menjadi pasangan bagi pria (QS. 4:1, 16:72, 2:187, 30:189, 42:11, 9:71, 49:13)
>   Iman searang wanita dinilai sama dengan pria tanpa perbedaan (QS 33:35, 38, 85:10, 47:19, 49:13)
>  Wanita dan pria mendapat imbalan yang sama atas perbuatan amal kebaikannya (QS 33:35, 3:195, 4:124, 16:97, 49:13).
>  Wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam memperoleh harta dan memilikinya. (QS 4:4, 32)

Islam telah menempatkan wanita pada tempat yang sebaik-baiknya, namun kadang wanita tidak menyadarinya.

B.   Hukum Kepemimpinan Dalam Islam


B1. Sebagai pemimpin Rumah Tangga
Kepemimpinan dalam rumah tangga yang dimaksud adalah tanggung jawab dalam me manage keluarga tetapi bukan untuk mencari nafkah, karena mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Wanita sebagai pemimpin dalam rumah tangga seperti yang dimaksud, sepakat ulama untuk mengakuinya sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah :

Al-mar'atu ra'iyatun fi bayti zawjiha wa mas'ulatun 'an ra'iyyatihal 'Wanita itu adalah pemimpin dirumah tangga suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.'(HR. Bukhori)[3]

Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wanita seperti yang dikemukakan hadist diatas bertanggung jawab dalam pengurusan rumah tangga. Semua puqaha' mendukung penuh bagi para wanita untuk tetap tinggal dirumah dan bekerja unutk anak dan suaminya. Mereka berpendapat bahwa wanita yang bekerja diluar akan banyak mendatangkan fitnah sehingga mereka melarangnya kecuali dalam keadaan terpaksa.
Alasan para ulama untuk mendukung kepemimpinan wanita dalam rumah tangga karena tugas domestik adalah yang paling sesuai dan paling aman bagi wanita. Sebagai pemimpin didalam rumah tangga wanita bertanggung jawab atas harta suaminya dan bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang agar menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab dan berakhlaq mulia dalam hidupnya. Tugas wanita sebagai pemimpin dalam rumah tangga sangat berat karena ditangan wanitalah masa depan bangsa yang mereka ciptakan melalui generasi penerus bangsa, sebagaimana disebutkan dalam hadist:

"Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya, dan jika rusak wanitanya maka binasalah negaranya". (al-hadis)

B2. Wanita sebagai Imam Dalam shalat
Imam adalah sama dengan pemimpin, dalm hal ini pemimpin shalat. Wanita sebagai pemimpin shalat, terjadi perselisihan pendapat dikalangan ulama fikih. Sebahagian membolehkan wanita menjadi imam dan sebahagian menolaknya dengan alasan-alasan tertentu, dan sebahagian lainnya membolehkannya dengan kehususan yang menjadi makmumnya adalah wanita.
Menurut Imam syafi'i, wanita mengimani wanita dibolehkan tetapi tidak boleh meng imani laki-laki. Abu Tsaur dan At-Thabari membolehkan mengimami laki-laki dan wanita karena keimaman wanita diakui secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa abu Tsaur dan At-Thabari tidak membedakan antara waita dengan laki-laki dalam segala hal. Alasan At-Thabari karena pada dasarnya tidak ada larangan yang jelas bagi wanita menjadi imam kecuali hanya berdasarkan penafsiran para Fuqaha' saja. Tidak ada ayat ataupun hadist yang menyatakan "dilarang wanita menjadi imam"
Menurut jumhur Ulama, wanita dilarang mengimami laki-laki, sebab wanita harus dibelakangkan seperti yang diajarkan oleh hadist:
Akhkhiru hunna min haytsu akhkhara hunna allahu 'Akhirkanlah wanita, karena Allah telah mengakhirkan mereka (wanita)" .
Kalaulah wanita dapat mengimami laki-laki tentunya sejak masa nabi hal ini sudah tersebar, tetapi ternyata tidak demikian kenyataanya.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan kaum wanita
Menjadi imam dengan alasan persamaan derajat dalam sholat, terlebih-lebih lagi kenyataan seperti ini sudah banyak diriwayatkan sejak permulaan Islam, mereka mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu waraqah:

Inna Rasulallahi shallallahu 'alayhi wasallama kaana yazuuruha fi baytihaa wa ja'ala lahaa yu'adzdzinu laha wa amarahaa anta'umma ahla daarihaall 'Sesugguhnya SAW pernah menziarahinya (Ummu Waraqah) dirumahnya, dan menunjukkan seorang mu'azin yang azan untuknya dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam seisi rumahnya' .

 Dengan alasan tersebut diatas maka seorang wanita dibolehkan untuk menjadi imam bagi makmum wanita, tetapi bagi ulama yang belum menerima persamaan derajat wanita, tetap merendahkan wanita tidak membolehkan wanita menjadi Imam. Pandangan merendahkan wanita sebenarnya adalah pengaruh dari pandang-pendangan yang dikemukakan oleh orang-orang sebelun kamu atau juga mungkin karena laki-laki takut disaingi oleh kaum wanita, sehingga dengan alasan agama mereka tetap tidak menerima kesamaan derajat wanita dengan laki-laki.
B3. Wanita sebagai Pemimpin Organisasi atau Perusahaan.
 Secara managerial tugas pemimpin adalah mulai dari merencanakan, mengorganisasi, menggerakkan, memotifasi, mengawasi dan mengevaluasi. Secara specifik berkaitan dengan pengambilan keputusan, komunikasi memilih dan mengembangkan. Kapasitas kepemimpinan lebih ditentukan oleh pemantapannya dalam pengambilan keputusan.
Alasan lain yang dikemukakan oleh para ulama mengapa wanita tidak dibenarkan menjadi pemimpin adalah karena lemahnya akal wanita. Kalau kita perhatikan bagaimana kiprah wanita pada masa sekarang ini maka pendapat mereka seperti itu harus disangkal karena kalau ditinjau dari segi kriteria seorang pemimpin seperti yang dikemukakan diatas maka wanita juga dapat memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki bahkan kadang kala wanita lebih mampu daripada laki-laki. Dalam kepemimpinan tidak haruis memiliki tubuh yang kuat tetapi lebih mengutamakan wawasan yang luas.
Kalau ditinjau dari sudut pandangan Islam sebenarya tidak ada larangan tetapi Buqaha' mengatakan lebih baik tinggal dirumah bagi wanita dan tidak meninggalkannya kecuali karena tepaksa. Menurut Huzaimah T. Yanggo Islam tidak melarang wanita untuk bekerja diluar rumah seperti yang dikemukakannya dalam tulisannya berjudul konsep wanita menurut Qur'an, sunnah dan Fiqih[4]. :

"Islam tidak menghalangi kaum wanita untuk memasuki berbagai bidang propesi sesuai dengan keahliannya seperti menjadi guru/dosen, Dokter, Pengusaha, Mentri, Hakim dan lain-lain. Bahkan bila mampu dan sanggup boleh menjadi perdana mentri atau kepala negara asal dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh Islam."

Islam tidak pernah melarang wanita itu menjadi pemimpin karena dalam hadist dinyatakan bahwa setiap orang itu adalah pemimpin:
Kullukum raa'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihil "Setiap kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta tanggung jawab terhadap kepemimpinannya".
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap manusia itu berhak menjadi pemimpin terhadap orang yang lebih rendah daripada dirinya. Seorang yang memipin haruslah lebih baik daripada orang yang dipimpinnya.
Dengan demikian seorang wanita dapat saja menjadi pimpinan dalam suatu perusahaan, organisasi dan departemen atau yang sejenisnya yang penting dia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin. Adakalanya wanita lebih dapat memahami dan mengambil keputusan yang lebih tepat daripada laki-laki. Tidak selamanya laki-laki lebih baik dalam pengambilan keputusan. Selama masyarakatnya membutuhkan dan dia mampu untuk itu maka boleh saja wanita menjadi pemimpin.
Kondisi masyarakat sekarang ini sangat mengharapkan kehadiran wanita di tengah masyarakat sehingga banyak organisasi wanita dan kalau ditinjau dari segi bentuknya tidaklah layak mengangkat laki-laki menjadi pimpinan dalam organisasi yang seluruh anggatanya adalah wanita. Disamping itu jika Islam tidak membolehkan, maka yang akan memegang pimpinan pada pos-pos tersebut didisi oleh mereka yang non muslim yang pada akhirnya akan merugikan umat Islam itu sendiri.
Namun pada organisasi tertentu yang tidak hanya diikuti oleh wanita, maka sebaiknya yang menjadi pimpinan itu adalah laki-laki jika kwalitasnya lebih baik dari wanita, namun bila kwalitasnya ternyata wanita yang lebih unggul maka hal itu dibolehkan.
B4. Sebagai Hakim
Mengangkat wanita menjadi hakim terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama, sebahagian membolehkannya dan sebahagian melarangnya dengan mengemukakkan alasan masing-masing.
Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjadi Hakim tetapi terbatas pada urusan harta, karena menurutnya peradilan itu sama dengan kesaksisan wanita dalam harta. Sementara itu at- Thabari menyatakan bahwa wanita itu boleh menjadi hakim dalam segala perkara, dengan alasan bahwa setiap orang dapat memberi peradilan di antara orang banyak, keculi dalam perkara yang telah takhsiskan oleh ijma' yakni Imamah kubra tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa syarat menjadi hakim haruslah laki-laki sehingga menolak keputusan peradilan yang dilakukan oleh wanita. Alasan penolakan mereka adalah menyamakan wanita dengan hamba yakni kurangnya kehormatan mereka. Sedangkan al-Mawardi searang ahli fiqih siyasah terkemuka pada zamannya memnalak hakim wanita dengan alasan wanita tidak mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan-jabatan.
Menurut Ibnu Rusydi penalakan para fuqaha' atas hakim wanita alasannya adalah analogi kepada Imamah Kubra (jabatan Kepala Negara) yang sudah disepakati oleh para ulama[5].
Kalau kita perhatikan alasan yang dikemukakan para ulama ada dua alasan yakni karena kurang cerdas dan kurang bijaksana dan penyamaan wanita dengan hamba. Alasan karena wanita kurang cukup kemampuannya rasanya tidak tepat karena untuk masa sekarang tidak lagi seperti zaman ketika Rasulullah dimana wanita tidak mempunyai kemampuan karena rendahnya pendidikan mereka.
Bagi yang mempunyai alasan karena kurangnya kehormatan wanita yang dipandang sama dengan hamba adalah pandangan yang keliru karena Islam tidak pernah membedakan derajat laki-laki dengan wanita, tetapi keduanya setara di hadapan Allah. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa Islam datang untuk mengangkat derajat kaum wanita, tetapi mengapa mereka masih merendahkan kaum wanita? Menurut analisa penulis barangkali ulama-ulama fiqih itu seluruhnya laki-laki dan kurangnya atau mungkin belum ada ahli fiqih wanita sehingga mereka tidak mengetahui tentang kemampuan wanita.
B5. Sebagai Pemimpin Negara
Syarat kelelakian untuk menjadi kepala negara/pemerintahan tidak diperdebatkan lagi oleh ahli fiqih terutama yang klasik. Syarat itu dipandang sebagai suatu yang jalas sehingga tidak perlu dibahas panjang lebar, bahkan ada yang melewatkannya begitu saja.
Masalah kepemimpinan dalam negara yang dipegang aleh umat Islam sekitar tahun 1989 ketika Benazir Bhuto terpilih menjadi presiden Pakistan, para fuqaha' ramai membincangkannya dan mencoba menggali bagaimana menurut hukum islam tentang kepemimpinan wanita.
Menurut Imam al-Haramain al-Juaini, para ulama telah berijma' bahwa, wanita tidak boleh menjadi imam dan hakim. la tidak menguraikan apa alasannya. Rasyid Rido (1935) mengutip pendapat At- Taftazani yang menyatakan bahwa syarat menjadi imam (kepala negara/pemerintahan) itu adalah mukallaf, muslim, laki-laki, mujtahid, berani, bijaksana, cakap, sehat indrawi, adil dan dari kalangan Quraisy. Sedangkan menurut ulama Hanafiah syarat Imam adalah Muslim, laki-laki, merdeka, berani, dan dari kalangan Quraisy[6].
Menurut al-Mawardi, searang ahli fiqih siyasah yang sezaman dengan Zuaihi membolehkan wanita menjadi hakim atau pemimpin berarti melawan sunnatullah karena Allah telah berfirman bahwa lelaki itu memimpin kaum wanita karena allah memberi kelebihan terhadap sebahagian arang atas sebahagian yang lain. (QS An-Nisa':34). Kelebihan yang dimaksud menurut ulama fikih dalam firman Allah tersebut adalah kelebihan akal dan kebijaksanaan[7]. Alasan kuat lainnya yang selalu digunakan untuk menentang kebolehan wanita Menjadi pemimpin adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berasal dari Abu Bakar yakni [8]:
lan yaflaha qawmun wallaw amarahum imra 'atunl "Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita menjadi pemimpinnya" (HR.Bukhari).
Kalau kita teliti dari keseluruhan uraian diatas dapat diringkaskan alasan-alasan penolakan para ulama tentang kebolehan wanita menjadi kepala pemerintahan atau kepemimpinan secara umum adalah.:
- al-Qur'an surat An-nisa' ayat 34.
- Hadis Abu Bakrah
- Menurut qodratnya wanita itu lebih lemah dan kurang sempurna dibanding laki-laki.
Bila kita tinjau dari segi konteks ayat jelas ia berbicara tentang hubungan suami istri, bukan hubungan sosial dalam konteks yang luas misalnya tentang penguasa dan rakyatnya. Karenanya Ayat tersbut tidak dapat dikatakan nass atau pelarangan wanita menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Lelaki memimpin wanita adalah hubungan langsung lelaki dengan wanita yang hidup dalam suatu perkawinan dan ini adalah wajar.
Banyak ulama menolak kepemimpinan wanita selain hadis di atas juga ada hadis lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya. Kurang akal yang maksud karena kesaksian wanita setengah dari kesaksian laki-laki sedangkan kurang agamanya disebut karena adanya masa-masa tertentu harus meninggalkan kewajiban shalat. Kurang akal tersebut menurut Izzat, bukan kekurangan yang bersifat alamiyah yakni karena kurang kecerdasan dengan berbagai tingkatan seperti idiot den lain-lain, kekurangan yang dimaksud dalam hadis tersebut bukanlah kekurangan fitriyah yang lazim, melainkan berupa sebahagian kewajiban yang berkaitan dengan kompetensi yang bersifat umum dan khusus. Bahkan wanita kadangkala lebih utama dan unggul daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalannya menyangkut kepada keahlian yang mengandung unsur-unsur capaian dan kompetensi yang bersifat khusus[9].
Dengan demikian adanya alasan tentang hadis Bakrah, jika kita tafsirkan dengan menurut konteks maka harus melihat sejarah. Pada zaman jahiliyah wanita tidak beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walaupun beliau telah berhasil, namun struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat diubah total seratus persen dalam waktu yang singkat seperti lembaga perbudakan misalnya. Dalam segi pendidikan juga mereka kurang beruntung, Kaum lelaki lebih tertarik untuk mendidik budak karena harganya menjadi mahal bila terampil terutama pandai tulis baca. Hanya kalangan terbatas yang mendidik wanita. Jadi wajar kalau Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada orang yang tidak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Akan tetapi keadaannya sekarang ini jauh berbeda. Situasi sekarang sudah jauh berubah dan wanita telah banyak yang terlibat secara intern dalam berbagi lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah memahami betul seluk beluk masalah. Menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada tidaknya illatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa tidaklah melanggar hukum Islam bila wanita yang karena kecakapannya menjadi kepala negara karena illat yang menyebabkan mengapa Rasulullah melarang dulu telah hilang.
Adapun alasan yang ketiga yang memandang wanita lebih dari laki-laki, sama artinya bahwa ada wanita yang luar biasa, jenius, cakap, la tidak terhalang untuk menjadi pimpinan. Sedangkan alasan yang menyatakan wanita tidak dapat tampil didepan umum jelas mewakili pandangan yang mengurung wanita dalam tembak-tembak rumah tangga, sehingga tidak ada yang melihatnya kecuali keluarganya sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terhalang wanita itu untuk menjadi pemimpin selama dia mampu dan masyarakat membutuhkannya. Namun ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya dalam rumah tangga dan dalam tugas kepemimpinannya tetap berada dijalur yang telah ditetapkan oleh Islam. Namun bila ada lelaki, maka harus tetaplah mengutamakan kaum laki-laki. Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk  keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan  di  dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka  waktu tertentu sebagai bentuk penghukuman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” 
(Muttafaqun ‘alahi)

PENUTUP

Ø  Kesimpulan

Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa wanita zaman sebelum Islam dipandang sangat hina rendah oleh masyarakat manapun di bumi ini. Anggapan terhadap wanita kadang sama sekali tak masuk diakal seperti menganggap bahwa wanita bukan makhluk manusia.
Banyak umat Islam masih terpengaruh dengan pandangan lama disebabkan karena struktur masyarakat yang telah kokoh, masih belum dapat menerima kesamaan kedudukan antara laki-laki dan wanita sehingga para ahli fikih masih menganggap wanita tidak boleh menjadi pimpinan terutama dalam kepemimpinan dalam politik. Mereka menganggap politik itu dunia laki-laki, dan tidak pantas buat wanita.
Alasan penolakan para fuqaha' menolak kepemimpinan wanita alam surat an-Nisa' ayat 34, dan hadis Bakrah. Para ulama sepakat untuk tidak membolehkan wanita menjadi hakim dan pemimpin
Kalau ditilik dari alasan-alasan mereka maka untuk masa sekarang ini sudah dapat diterima tentang kepemimpinan wanita karena ada wanita yang benar-benar cakap dan mampu untuk menjadi seorang pemimpin. 

DAFTAR PUSTAKA


Ibnu Rusydi, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Jilid I, Dar al-Fikri, tanpa tahun
Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.
Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an  dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
Rida, Rasyid, al-Khilafah aw al-imamah al-Uzma, Matba' ah alManar, Mesir tanpa tahun.
Shihab, Quraish.2004. Membumikan Al Quran,Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,.Bandung : Mizan
Thahar, Kamarisah, Hak Asasi Wanita dalam Islam, Ofset Maju. Medan, 1982,
Yanggo, Huzaimah T, Konsep Wanita Menurut Qur'an, Sunnah dan Fikih (dalam Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Editor Johan H Meuleman, INIS. Jakarta,1993.





[1]Thahar, Kamarisah, Hak Asasi Wanita dalam Islam, Ofset Maju. Medan, 1982, hal.30
[2]Ibid,.37
[3] Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an  dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hal.125
[4] Yanggo, Huzaimah T, Konsep Wanita Menurut Qur'an, Sunnah dan Fikih (dalam Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Editor Johan H Meuleman, INIS. Jakarta,1993.hal.25
[5] Ibnu Rusydi, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Jilid I, Dar al-Fikri, tanpa tahun.
[6] Rida, Rasyid, al-Khilafah aw al-imamah al-Uzma, Matba' ah alManar, Mesir tanpa tahun.hal.54
[8] Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an  dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hal.135
[9] Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.hal. 83

2 komentar: