PENDAHULUAN
1 . Latar Belakang
"Wanita adalah tiang negara. Apabila
baik wanitanya maka baiklah negaranya dan bila rusak wanitanya maka rusaklah
negaranya" (Hadis)
Masalah wanita telah lahir sejak pertama
kali wanita itu ada di permukaan bumi ini. Persoalan wanita menjadi persoalan
yang persoalan yang penting dan serius sehingga tak henti-hentinya dibicarakan
oleh bangsa-bangsa didunia ini. Perbincangan itu tidak hanya dilakukan
dikalangan wanita itu saja tetapi juga menjadi perbincangan di kalangan pria. Hal
ini adalah wajar karena wanita menjadi pendamping hidup bagi kaum pria.
Dahulu wanita dipandang sangat rendah baik
oleh bangsa-bangsa di Timur maupun Barat, juga menurut pandangan agama yang ada
sebelum agama Islam. Hak-hak wanita tak pernah diberikan, mereka begitu
tertindas. Wanita dianggap tak lebih dari sebagai pengembang keturunan dan
menjadi pelayan bagi suaminya bahkan kadang dianggap hanya untuk pemuas nafsu
para pria. Wanita hanya boleh bekerja dalam rumah tangga suaminya atau bagi
yang belum menikah dirumah orang tuanya dipingit (dikurung).
Berkat
perjuangan wanita yang telah sadar dan bangkit dari ketertindasan kaum pria,
muncullah wanita-wanita yang tidak hanya mampu mengurus rumah tangga tetapi
telah mampu menyaingi dan menyamai kedudukan kaum pria baik dalam pekerjaan
maupun dalam pendidikan. Wanita kini banyak yang telah menempati posisi penting
yang sebelumnya hanya menjadi milik kaum pria.
2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana pandangan agama tentang wanita ?
B. Bolehkah seorang wanita menjadi pemimpin dalam pandangan agama
islam?
3. Tujuan masalah
Agar kita semua
mengetahui posisi wanita dalam pandangan agama dan peran mereka dalam keluarga
bahkan Negara dan juga supaya kita lebih mengetahui tentang persoalan wanita
yang dimana selalu di debatkan oleh orang – orang sekarang.
PEMBAHASAN
A. Wanita dalam pandangan agama
Agama-agama yang ada selain Islam
memandang rendah terhadap wanita sebagaimana yang disebutkan dalam kitab agama
yang mereka tulis. Misalnya dalam agama Hindu, Berahma memandang wanita dengan
sangat rendahnya seperti dituliskan oleh Manu yang dikutip Glen kamarisah
Thahar[1]:
Orang
kehilangan kehormatan karena perempuan, dan asal permusuhan adalah perempuan.
Perempuan memiliki tabiat menggoda laki-Iaki dan tidak pernah dapat mandiri.
Wanita.tLdak diperkenankan menuruti kehendaknya sendiri tapi harus tunduk
kepada orang tua (yang belum menikah) atau pad a suaminya. Wanita itu sama
dengan budak belian yang punya satu tuan yakni suaminya.
Kita melihat dalam pelaksanaan keagamaan
orang hindu bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya maka
harus rela dibakar hidup-hidup sebagai tanda kesetiaann dan kecintaan seorang
istri terhadap suaminya. Betapa menyedihkan nasib wanita, padahal kalau seorang
suami yang ditinggal mati oleh istrinya, tidak disuruh untuk menyertai
isterinya dibakar.
Dalam pandangan agama Yahudi seorang wanita dijadikan Tuhan dengan
mencabut tulang Nabi Adam, apabila seorang wanita melahirkan anak laki-Iaki dia
menjadi najis selama satu minggu tetapi jika dia melahirkan anak perempuan dia
menjadi najis dalam dua minggu. (Imamat pasal 12:2). Ini menunjukkan bahwa
adanya perbedaan laki-laki dengan perempuan. Setiap orang yahudi laki-laki
dalam sembahyangnya setiap pagi memujakan "Terpujilah Tuhan yang telah
membuatku tidak perempuan" Dan perempuan Yahudi bersembahyang mengucapkan.
"Terpujilah Tuhan Robbul Alamin, bahwa la membuat aku menurut
kehendaknya"[2]
Sementara dalam agama kristen disebutkan
dalam perjanjian baru bahwa: "Tetapi aku suka kamu mengetahui, bahwa
kepala tiap laki-laki itu Kristus dan kepala perempuan itu Laki-laki dan kepala
Kristus itu Allah". (Korintus I pasal 11: 3). Diayat lain dinyatakan agar
wanita itu tunduk dan patuh pada suami karena laki-laki yang menjadi suaminya
adalah pemimpin bagi istrinya. Sehingga dalam sidang Jumat wanita dilarang
untuk berbicara kalaupun dia ingin bertanya cukup pada suaminya dirumah, karena
wanita tidak punya hak untuk berbicara dalam sidang jumat.
Dalam agama Kong Hu Chu wanita direndahkan
dan laki-laki itu disucikan sebagai tanda kesucian mereka itu, wanita dilarang
duduk bersama-sama dengan mereka untuk menuntut ilmu.
Dalam pandangan Islam
tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan wanita. Islam sebagai agama
rahmatan lil'alamin telah mengangkat derajat kaum wanita dari penindasa dari
ajaran-ajaran sebelumnya. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita itu sama
yakni mempunyai hak dan kewajiban dan tidak ada yang lebih dimuliakan kecuali
orang yang lebih bertaqwa.
Islam adalah konsep aturan-aturan yang
maha Pencipta untuk manusia adat. Ajaran Islam menetukan keseimbangan tindakan
manusia dengan hukum alam. Islam menuntun manusia pria dan wanita, dalam
melaksanakan tugas kehidupannya sebagai khlifah dimuka bumi.
Islam yang telah digariskan dalam al-Quran bukanlah risalah
tentang filsafaht, namun mengungkapkan secara eksplisit tentang tiga topik
filsafat alam semesta, manusia dan masyarakat. Dalam pandangan tentang pria dan
wanita al-Quran menerangkan bahwa keduanya dalam penciptaannya pada hakikatnya
berasal dari satu jiwa dan sifat serta esensi yang sama pula.
Wahai
sekalian manusia, bertqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
jenis yang sama dan daripadanya tuhan menciptakan pasangannya dan daripada
keduanya diperkembang biakkan laki-laki dan wanita yang banyak. (QS 4: 1).
Disini
jelas ditekankan bahwa tidak adanya adat perbedaan derajat antara pria dan
wanita. Dengan kata lain tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Keduanya memang tidak diciptakan dalam bentuk yang sama persis, melainkan
sebagai pasangan yang saling melengkapi manusia. Pasangan ini memiliki
kemampauan yang berbeda, laki-laki lebih kuat fisiknya sehingga dapat bekerja
yang berat sedangkan wanita fisiknya lembut, memungkinkan baginya pekerjaan
yang membutuhkan ketelatenan dalam kesabaran. Jiwa laki-Iaki lebih mudah
bergalak dan lebih kasar sedangkan wanita lebih tenang dan lebih halus, yang
membutuhkan pengayoman. Perbedaan in selintas menunjukkan masing-masing punya
kelebihan dan kekurangan tetapi bila ditelaah lebih jauh, ini merupakan
sinkranisasi alam yang harmonis bila dipadukan.
Ketentuan
Islam dalam meletakkan posisi pria dan wanita berdasarkan pada bakat dan
kecendrungan alam yang mereka alami, tanpa pemaksaan yang tidak sesuai dengan
kondisi alami pria dan wanita. Karenanya posisi yang digariskan islam
disesuaikan dengan identitas yang has dan selaras dengan apa yang ada pada pria
dan wanita.
Islam memberikan hak-hak
wanita yakni sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam antara lain:
> Wanita menjadi
pasangan bagi pria (QS. 4:1, 16:72, 2:187, 30:189, 42:11, 9:71, 49:13)
> Iman searang wanita
dinilai sama dengan pria tanpa perbedaan (QS 33:35, 38, 85:10, 47:19, 49:13)
> Wanita dan pria
mendapat imbalan yang sama atas perbuatan amal kebaikannya (QS 33:35, 3:195,
4:124, 16:97, 49:13).
> Wanita dan pria
memiliki hak yang sama dalam memperoleh harta dan memilikinya. (QS 4:4, 32)
Islam telah menempatkan
wanita pada tempat yang sebaik-baiknya, namun kadang wanita tidak menyadarinya.
B. Hukum Kepemimpinan Dalam Islam
B1. Sebagai pemimpin Rumah Tangga
Kepemimpinan dalam rumah tangga yang
dimaksud adalah tanggung jawab dalam me manage keluarga tetapi bukan untuk
mencari nafkah, karena mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Wanita
sebagai pemimpin dalam rumah tangga seperti yang dimaksud, sepakat ulama untuk
mengakuinya sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah :
‘Al-mar'atu
ra'iyatun fi bayti zawjiha wa mas'ulatun 'an ra'iyyatihal 'Wanita itu
adalah pemimpin dirumah tangga suaminya dan dia akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya.'(HR. Bukhori)[3]
Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wanita seperti yang
dikemukakan hadist diatas bertanggung jawab dalam pengurusan rumah tangga.
Semua puqaha' mendukung penuh bagi para wanita untuk tetap tinggal dirumah dan
bekerja unutk anak dan suaminya. Mereka berpendapat bahwa wanita yang bekerja
diluar akan banyak mendatangkan fitnah sehingga mereka melarangnya kecuali
dalam keadaan terpaksa.
Alasan para ulama untuk mendukung
kepemimpinan wanita dalam rumah tangga karena tugas domestik adalah yang paling
sesuai dan paling aman bagi wanita. Sebagai pemimpin didalam rumah tangga
wanita bertanggung jawab atas harta suaminya dan bertanggung jawab untuk
mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang agar menjadi seorang pemuda
yang bertanggung jawab dan berakhlaq mulia dalam hidupnya. Tugas wanita sebagai
pemimpin dalam rumah tangga sangat berat karena ditangan wanitalah masa depan
bangsa yang mereka ciptakan melalui generasi penerus bangsa, sebagaimana
disebutkan dalam hadist:
"Apabila
baik wanitanya maka baiklah negaranya, dan jika rusak wanitanya maka binasalah
negaranya". (al-hadis)
B2. Wanita sebagai Imam Dalam shalat
Imam adalah sama dengan pemimpin, dalm hal
ini pemimpin shalat. Wanita sebagai pemimpin shalat, terjadi perselisihan
pendapat dikalangan ulama fikih. Sebahagian membolehkan wanita menjadi imam dan
sebahagian menolaknya dengan alasan-alasan tertentu, dan sebahagian lainnya
membolehkannya dengan kehususan yang menjadi makmumnya adalah wanita.
Menurut Imam syafi'i, wanita mengimani
wanita dibolehkan tetapi tidak boleh meng imani laki-laki. Abu Tsaur dan
At-Thabari membolehkan mengimami laki-laki dan wanita karena keimaman wanita
diakui secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa abu Tsaur dan At-Thabari tidak
membedakan antara waita dengan laki-laki dalam segala hal. Alasan At-Thabari
karena pada dasarnya tidak ada larangan yang jelas bagi wanita menjadi imam
kecuali hanya berdasarkan penafsiran para Fuqaha' saja. Tidak ada ayat ataupun
hadist yang menyatakan "dilarang wanita menjadi imam"
Menurut jumhur Ulama, wanita dilarang
mengimami laki-laki, sebab wanita harus dibelakangkan seperti yang diajarkan
oleh hadist:
‘Akhkhiru hunna min haytsu akhkhara hunna allahu 'Akhirkanlah
wanita, karena Allah telah mengakhirkan mereka (wanita)" .
Kalaulah wanita dapat mengimami laki-laki tentunya sejak masa nabi
hal ini sudah tersebar, tetapi ternyata tidak demikian kenyataanya.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan kaum
wanita
Menjadi imam dengan alasan persamaan derajat dalam sholat,
terlebih-lebih lagi kenyataan seperti ini sudah banyak diriwayatkan sejak
permulaan Islam, mereka mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dari Ummu waraqah:
‘Inna
Rasulallahi shallallahu 'alayhi wasallama kaana yazuuruha fi baytihaa wa ja'ala
lahaa yu'adzdzinu laha wa amarahaa anta'umma ahla daarihaall 'Sesugguhnya
SAW pernah menziarahinya (Ummu Waraqah) dirumahnya, dan menunjukkan seorang
mu'azin yang azan untuknya dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam
seisi rumahnya' .
Dengan alasan tersebut
diatas maka seorang wanita dibolehkan untuk menjadi imam bagi makmum wanita,
tetapi bagi ulama yang belum menerima persamaan derajat wanita, tetap
merendahkan wanita tidak membolehkan wanita menjadi Imam. Pandangan merendahkan
wanita sebenarnya adalah pengaruh dari pandang-pendangan yang dikemukakan oleh
orang-orang sebelun kamu atau juga mungkin karena laki-laki takut disaingi oleh
kaum wanita, sehingga dengan alasan agama mereka tetap tidak menerima kesamaan
derajat wanita dengan laki-laki.
B3. Wanita sebagai Pemimpin Organisasi atau Perusahaan.
Secara managerial tugas pemimpin adalah mulai
dari merencanakan, mengorganisasi, menggerakkan, memotifasi, mengawasi dan
mengevaluasi. Secara specifik berkaitan dengan pengambilan keputusan,
komunikasi memilih dan mengembangkan. Kapasitas kepemimpinan lebih ditentukan
oleh pemantapannya dalam pengambilan keputusan.
Alasan lain yang
dikemukakan oleh para ulama mengapa wanita tidak dibenarkan menjadi pemimpin
adalah karena lemahnya akal wanita. Kalau kita perhatikan bagaimana kiprah
wanita pada masa sekarang ini maka pendapat mereka seperti itu harus disangkal
karena kalau ditinjau dari segi kriteria seorang pemimpin seperti yang
dikemukakan diatas maka wanita juga dapat memiliki kemampuan yang tidak kalah
dengan laki-laki bahkan kadang kala wanita lebih mampu daripada laki-laki.
Dalam kepemimpinan tidak haruis memiliki tubuh yang kuat tetapi lebih
mengutamakan wawasan yang luas.
Kalau ditinjau dari
sudut pandangan Islam sebenarya tidak ada larangan tetapi Buqaha' mengatakan
lebih baik tinggal dirumah bagi wanita dan tidak meninggalkannya kecuali karena
tepaksa. Menurut Huzaimah T. Yanggo Islam tidak melarang wanita untuk bekerja
diluar rumah seperti yang dikemukakannya dalam tulisannya berjudul konsep
wanita menurut Qur'an, sunnah dan Fiqih[4]. :
"Islam tidak menghalangi kaum wanita untuk memasuki berbagai
bidang propesi sesuai dengan keahliannya seperti menjadi guru/dosen, Dokter,
Pengusaha, Mentri, Hakim dan lain-lain. Bahkan bila mampu dan sanggup boleh
menjadi perdana mentri atau kepala negara asal dalam tugasnya tetap
memperhatikan hukum-hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh Islam."
Islam tidak pernah
melarang wanita itu menjadi pemimpin karena dalam hadist dinyatakan bahwa
setiap orang itu adalah pemimpin:
Kullukum raa'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihil "Setiap kamu semua adalah pemimpin dan semua akan
diminta tanggung jawab terhadap kepemimpinannya".
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap manusia itu berhak
menjadi pemimpin terhadap orang yang lebih rendah daripada dirinya. Seorang
yang memipin haruslah lebih baik daripada orang yang dipimpinnya.
Dengan demikian seorang
wanita dapat saja menjadi pimpinan dalam suatu perusahaan, organisasi dan
departemen atau yang sejenisnya yang penting dia punya kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Adakalanya wanita lebih dapat memahami dan mengambil keputusan yang
lebih tepat daripada laki-laki. Tidak selamanya laki-laki lebih baik dalam
pengambilan keputusan. Selama masyarakatnya membutuhkan dan dia mampu untuk itu
maka boleh saja wanita menjadi pemimpin.
Kondisi masyarakat
sekarang ini sangat mengharapkan kehadiran wanita di tengah masyarakat sehingga
banyak organisasi wanita dan kalau ditinjau dari segi bentuknya tidaklah layak
mengangkat laki-laki menjadi pimpinan dalam organisasi yang seluruh anggatanya
adalah wanita. Disamping itu jika Islam tidak membolehkan, maka yang akan
memegang pimpinan pada pos-pos tersebut didisi oleh mereka yang non muslim yang
pada akhirnya akan merugikan umat Islam itu sendiri.
Namun
pada organisasi tertentu yang tidak hanya diikuti oleh wanita, maka sebaiknya
yang menjadi pimpinan itu adalah laki-laki jika kwalitasnya lebih baik dari
wanita, namun bila kwalitasnya ternyata wanita yang lebih unggul maka hal itu
dibolehkan.
B4. Sebagai Hakim
Mengangkat
wanita menjadi hakim terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama,
sebahagian membolehkannya dan sebahagian melarangnya dengan mengemukakkan
alasan masing-masing.
Imam Abu
Hanifah membolehkan wanita menjadi Hakim tetapi terbatas pada urusan harta,
karena menurutnya peradilan itu sama dengan kesaksisan wanita dalam harta.
Sementara itu at- Thabari menyatakan bahwa wanita itu boleh menjadi hakim dalam
segala perkara, dengan alasan bahwa setiap orang dapat memberi peradilan di
antara orang banyak, keculi dalam perkara yang telah takhsiskan oleh ijma'
yakni Imamah kubra tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa syarat menjadi hakim
haruslah laki-laki sehingga menolak keputusan peradilan yang dilakukan oleh
wanita. Alasan penolakan mereka adalah menyamakan wanita dengan hamba yakni
kurangnya kehormatan mereka. Sedangkan al-Mawardi searang ahli fiqih siyasah
terkemuka pada zamannya memnalak hakim wanita dengan alasan wanita tidak
mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan-jabatan.
Menurut Ibnu Rusydi penalakan para fuqaha'
atas hakim wanita alasannya adalah analogi kepada Imamah Kubra (jabatan Kepala
Negara) yang sudah disepakati oleh para ulama[5].
Kalau kita perhatikan alasan yang
dikemukakan para ulama ada dua alasan yakni karena kurang cerdas dan kurang
bijaksana dan penyamaan wanita dengan hamba. Alasan karena wanita kurang cukup
kemampuannya rasanya tidak tepat karena untuk masa sekarang tidak lagi seperti
zaman ketika Rasulullah dimana wanita tidak mempunyai kemampuan karena
rendahnya pendidikan mereka.
Bagi yang
mempunyai alasan karena kurangnya kehormatan wanita yang dipandang sama dengan
hamba adalah pandangan yang keliru karena Islam tidak pernah membedakan derajat
laki-laki dengan wanita, tetapi keduanya setara di hadapan Allah. Dalam ajaran
Islam disebutkan bahwa Islam datang untuk mengangkat derajat kaum wanita,
tetapi mengapa mereka masih merendahkan kaum wanita? Menurut analisa penulis barangkali
ulama-ulama fiqih itu seluruhnya laki-laki dan kurangnya atau mungkin belum ada
ahli fiqih wanita sehingga mereka tidak mengetahui tentang kemampuan wanita.
B5. Sebagai Pemimpin Negara
Syarat kelelakian untuk menjadi kepala
negara/pemerintahan tidak diperdebatkan lagi oleh ahli fiqih terutama yang
klasik. Syarat itu dipandang sebagai suatu yang jalas sehingga tidak perlu
dibahas panjang lebar, bahkan ada yang melewatkannya begitu saja.
Masalah kepemimpinan dalam negara yang
dipegang aleh umat Islam sekitar tahun 1989 ketika Benazir Bhuto terpilih
menjadi presiden Pakistan, para fuqaha' ramai membincangkannya dan mencoba
menggali bagaimana menurut hukum islam tentang kepemimpinan wanita.
Menurut Imam al-Haramain al-Juaini, para
ulama telah berijma' bahwa, wanita tidak boleh menjadi imam dan hakim. la tidak
menguraikan apa alasannya. Rasyid Rido (1935) mengutip pendapat At- Taftazani
yang menyatakan bahwa syarat menjadi imam (kepala negara/pemerintahan) itu
adalah mukallaf, muslim, laki-laki, mujtahid, berani, bijaksana, cakap, sehat
indrawi, adil dan dari kalangan Quraisy. Sedangkan menurut ulama Hanafiah
syarat Imam adalah Muslim, laki-laki, merdeka, berani, dan dari kalangan
Quraisy[6].
Menurut al-Mawardi, searang ahli fiqih
siyasah yang sezaman dengan Zuaihi membolehkan wanita menjadi hakim atau
pemimpin berarti melawan sunnatullah karena Allah telah berfirman bahwa lelaki
itu memimpin kaum wanita karena allah memberi kelebihan terhadap sebahagian
arang atas sebahagian yang lain. (QS An-Nisa':34). Kelebihan yang dimaksud
menurut ulama fikih dalam firman Allah tersebut adalah kelebihan akal dan
kebijaksanaan[7].
Alasan kuat lainnya yang selalu digunakan untuk menentang kebolehan wanita
Menjadi pemimpin adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berasal dari
Abu Bakar yakni [8]:
lan yaflaha qawmun wallaw amarahum imra 'atunl "Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita
menjadi pemimpinnya" (HR.Bukhari).
Kalau kita teliti dari keseluruhan uraian
diatas dapat diringkaskan alasan-alasan penolakan para ulama tentang kebolehan
wanita menjadi kepala pemerintahan atau kepemimpinan secara umum adalah.:
- al-Qur'an surat An-nisa' ayat 34.
- Hadis Abu Bakrah
- Menurut qodratnya wanita itu lebih lemah dan kurang sempurna
dibanding laki-laki.
Bila kita tinjau dari segi konteks ayat
jelas ia berbicara tentang hubungan suami istri, bukan hubungan sosial dalam
konteks yang luas misalnya tentang penguasa dan rakyatnya. Karenanya Ayat
tersbut tidak dapat dikatakan nass atau pelarangan wanita menjadi pemimpin
dalam pemerintahan. Lelaki memimpin wanita adalah hubungan langsung lelaki
dengan wanita yang hidup dalam suatu perkawinan dan ini adalah wajar.
Banyak ulama menolak kepemimpinan wanita
selain hadis di atas juga ada hadis lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu
kurang akal dan agamanya. Kurang akal yang maksud karena kesaksian wanita
setengah dari kesaksian laki-laki sedangkan kurang agamanya disebut karena
adanya masa-masa tertentu harus meninggalkan kewajiban shalat. Kurang akal
tersebut menurut Izzat, bukan kekurangan yang bersifat alamiyah yakni karena
kurang kecerdasan dengan berbagai tingkatan seperti idiot den lain-lain,
kekurangan yang dimaksud dalam hadis tersebut bukanlah kekurangan fitriyah yang
lazim, melainkan berupa sebahagian kewajiban yang berkaitan dengan kompetensi
yang bersifat umum dan khusus. Bahkan wanita kadangkala lebih utama dan unggul
daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalannya menyangkut kepada keahlian
yang mengandung unsur-unsur capaian dan kompetensi yang bersifat khusus[9].
Dengan
demikian adanya alasan tentang hadis Bakrah, jika kita tafsirkan dengan menurut
konteks maka harus melihat sejarah. Pada zaman jahiliyah wanita tidak
beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah
sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walaupun beliau telah berhasil,
namun struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat diubah
total seratus persen dalam waktu yang singkat seperti lembaga perbudakan
misalnya. Dalam segi pendidikan juga mereka kurang beruntung, Kaum lelaki lebih
tertarik untuk mendidik budak karena harganya menjadi mahal bila terampil
terutama pandai tulis baca. Hanya kalangan terbatas yang mendidik wanita. Jadi
wajar kalau Rasulullah menyatakan bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada
orang yang tidak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan.
Akan tetapi keadaannya sekarang ini jauh berbeda. Situasi sekarang sudah jauh
berubah dan wanita telah banyak yang terlibat secara intern dalam berbagi
lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah memahami betul seluk beluk masalah.
Menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada tidaknya illatnya,
maka dapatlah dikatakan bahwa tidaklah melanggar hukum Islam bila wanita yang
karena kecakapannya menjadi kepala negara karena illat yang menyebabkan mengapa
Rasulullah melarang dulu telah hilang.
Adapun alasan yang ketiga yang memandang
wanita lebih dari laki-laki, sama artinya bahwa ada wanita yang luar biasa,
jenius, cakap, la tidak terhalang untuk menjadi pimpinan. Sedangkan alasan yang
menyatakan wanita tidak dapat tampil didepan umum jelas mewakili pandangan yang
mengurung wanita dalam tembak-tembak rumah tangga, sehingga tidak ada yang
melihatnya kecuali keluarganya sendiri. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terhalang wanita itu untuk menjadi
pemimpin selama dia mampu dan masyarakat membutuhkannya. Namun ia tidak boleh
mengabaikan tugas utamanya dalam rumah tangga dan dalam tugas kepemimpinannya
tetap berada dijalur yang telah ditetapkan oleh Islam. Namun bila ada lelaki,
maka harus tetaplah mengutamakan kaum laki-laki.
Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan di
dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktu
tertentu sebagai bentuk penghukuman.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ
لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah
mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.”
(Muttafaqun
‘alahi)
PENUTUP
Ø Kesimpulan
Dari uraian-uraian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa wanita zaman sebelum Islam dipandang sangat hina rendah oleh
masyarakat manapun di bumi ini. Anggapan terhadap wanita kadang sama sekali tak
masuk diakal seperti menganggap bahwa wanita bukan makhluk manusia.
Banyak umat Islam masih terpengaruh dengan
pandangan lama disebabkan karena struktur masyarakat yang telah kokoh, masih
belum dapat menerima kesamaan kedudukan antara laki-laki dan wanita sehingga
para ahli fikih masih menganggap wanita tidak boleh menjadi pimpinan terutama
dalam kepemimpinan dalam politik. Mereka menganggap politik itu dunia
laki-laki, dan tidak pantas buat wanita.
Alasan penolakan para fuqaha' menolak
kepemimpinan wanita alam surat an-Nisa' ayat 34, dan hadis Bakrah. Para ulama
sepakat untuk tidak membolehkan wanita menjadi hakim dan pemimpin
Kalau ditilik dari alasan-alasan mereka
maka untuk masa sekarang ini sudah dapat diterima tentang kepemimpinan wanita
karena ada wanita yang benar-benar cakap dan mampu untuk menjadi seorang
pemimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusydi, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid, Jilid I, Dar al-Fikri, tanpa tahun
Izzat,
Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1995.
Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an
dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
Rida,
Rasyid, al-Khilafah aw al-imamah al-Uzma, Matba' ah alManar, Mesir tanpa tahun.
Shihab,
Quraish.2004. Membumikan Al Quran,Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,.Bandung
: Mizan
Thahar, Kamarisah, Hak
Asasi Wanita dalam Islam, Ofset Maju. Medan, 1982,
Yanggo, Huzaimah T, Konsep Wanita Menurut Qur'an,
Sunnah dan Fikih (dalam Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual, Editor Johan H Meuleman, INIS. Jakarta,1993.
[1]Thahar, Kamarisah, Hak Asasi Wanita dalam Islam, Ofset
Maju. Medan, 1982, hal.30
[2]Ibid,.37
[3] Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah
Dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, hal.125
[4] Yanggo, Huzaimah T, Konsep Wanita Menurut Qur'an, Sunnah
dan Fikih (dalam Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual,
Editor Johan H Meuleman, INIS. Jakarta,1993.hal.25
[5] Ibnu Rusydi, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,
Jilid I, Dar al-Fikri, tanpa tahun.
[6] Rida, Rasyid, al-Khilafah aw al-imamah al-Uzma, Matba' ah
alManar, Mesir tanpa tahun.hal.54
[8]
Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah
Dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, hal.135
[9] Izzat, Hibbah Rauf, Wanita dan Politik Pandangan Islam,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1995.hal. 83
gamaamaaaa
BalasHapushehehehe
BalasHapus