Selasa, 31 Mei 2016

Segala Sesuatu Itu Diawali dengan Niat





PENDAHULUAN
     I.      LATAR BELAKANG
Kita seringkali dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan hukum fiqih yang karakternya sama tapi ketentuan hukumnya berbeda-beda. Dengan kata lain, antar hukum satu dengan hukum lainnya seringkali menampakkan keruwetan dan kontradiksi yang akut, bagaikan benang kusut yang tak mudah diurai.
Nah, salah satu solusi untuk mengurai “benang kusut” itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syariat. Jadi , selain kita harus mempelajari hukum – hukum yang sudah “jadi” (furu’ fiqih) kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substansi hukumnya. Cara satu-satunya untuk mencapai hal itu tidak lain adalah dengan mempelajari kaidah-kaidah fiqih.
Dalam salah satu kaidah fiqih itu ada kaidah" "الامور بمقاصدها yang dimana kaidah ini terletak pada kaidah awal (pertama), yang mana pula dalam kaidah ini diterangkan segala sesuatu tergantung tujuannya, dari kaidah inilah semua kaidah bermula, karena kaidah pertama ini membahas tentang tujuan perbuatan, dan tujuan itu cendrung kepada niat. Selain pembahasan niat dan kandungannya di dalam kaidah  “ "الامور بمقاصدها  juga di bahas makna-makna rahasia yang terkandung pada sebuah kata.
Oleh sebab itu untuk mengetahui kaidah ini lebih jelas dan mengetahui dalil-dalil al-Qur’an dan al-Haditsnya dari kaidah pertama ini serta mengetahuinya seberapa kuat substansi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan niat, mari sama-sama kita telaah di makalah ini.
    II.   RUMUSAN MASALAH
A.    Apa dasar dari kaidah "الأمور بمقاصدها"  ?
B.     Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan niat  ?
C.   العبرة فى العقود للمقاصد والمعانى لا للأ لفاظ والمبانى Apa yang dimaksud dengan kaidah ini?   
    III.                       TUJUAN MASALAH
1.      Supaya mengetahui lebih jelas tentang kaidah "الأمور بمقاصدها".
2.      Agar bisa memahami hukum furu’ fiqih dengan cermat dan tidak saling menyalahi satu sama lain.


PEMBAHASAN
Dalam tataran realitas kita pun mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita kerjakan pasti didasari motivasi ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka perbuatan itu pastilah bersifat spekulatif. Kita makan karena ingin kenyang, minum untuk mengobati haus, tidur untuk mengistirahatkan badan, ibadah untuk mendekatkan diri kepada tuhan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa niat mempunyai posisi sangat penting (krusial). Dianggap krusial karena ia menentukan segala gerak-langkah dan kontruksi pekerjaan yang kita lakuka, yang berkonsekuensi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak? Beretika atau tidak? Termasuk ibadah atau tidak? Berpahala atau hambar tak bermakna? Pada kondisi inilah kaidah  "الأمور بمقاصدها" ini amat penting dipahami.
Dalam kaidah pertama ini dijelaskan beragam hal yang berkaitan dengan niat, baik tentang apa hakikat niat, kenapa harus berniat, kapan harus dilakukan, apa saja yang harus diniati, bagaimana caranya, dan masih bnyak pertanyaan lainnya. Dengan mengetahui semua itu, maka kita akan memaknai hidup kita menjadi lebih berkualitas, baik di dunia maupun di akhirat.
A.   DASAR KAIDAH
1.      Al-Qur’an
Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, Allah swt. Menyatakan dalam  al-Qur’an surat al-Bayyinah [98] ayat 5:
وماأمرا الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan – ikhlas dalam beragama (ibadah).”
      Kata ad-din dalam bahasa arab, secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam konteks ayat di atas, al-Qurthubi menafsirinya sebagai ibadah[1]. Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin, adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah, ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang tak bisa dipisahkan antara ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib; seperti diwajibkannya ikhlas dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
      Apabila diamati secara seksama, dalam ayat ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan pengesaan kepada Allah swt. Bagaimana mungkin seseorang yang atheis, misalnya, akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya bertindak dengan orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya. Sama sekali tidak ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang seharusnya menjadi pijakan dan tolak ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak diindahkan olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara peribadi mukmin dan jiwa seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan peng-esa-an pada yang maha kuasa adalah proses berkelanjutan yang selalu terkait satu sama lain, dan mampu menunjukan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu[2].
      Pembahasan mengenai niat, ibadah, ikhlas, dan hal-hal yang bersinggungan dengannya, merupakan pesan yerdalam ayat di atas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah  "الأمور بمقاصدها".
2.      Al-Hadits
Hadits Nabi saw. Yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:
إنما الأعمال بالنيات
“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
      Hadits ini termasuk katagori hadits mashur, dan dalam kitab qowa’idul khomsil bahiyyah hadits ini ada pada derajat (tingkatan) mutawwatir[3]. Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi “tiada” dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemakan seadanya, tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti “ sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa “ada” tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin al-Fadani, maksud hadits di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah atau sempurna[4]. Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat tergantung pada niat pelakunya.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di atas. Sementara ulam yang diwakili kalangan Syafi’iyyah, menjelaskan bahwa titik penekanannya hadits ini hanya berkisar tentang “keabsahan” sebuah pekerjaan. Lain lagi dengan golongan Hanafiyyah yang menafsirinya dengan makna “kesempurnaan pekerjaan”.
Disamping perbedaan diatas, ternyata masih ada ulam yang memiliki pandangan lain. Ulama muta’akhkhirin madzhab Hanbali misalnya, bahwa yang dimaksud amal perbuatan dalam hadits tersebut hanyalah amal-amal syar’i, yakni setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Di lain pihak juga, ada pula ulama yang berpendapat bahwa kata الأعمال dalam hadits itu harus dimaknai sebagai: senua perbuatan, menurut penafsiran Ibnu Hanbal ini, yang dimaksud الأعمال dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia.[5] Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari pihak pelaku.
Banyak sekali ulama yang menafsirkan atau memaknai hadits ini dengan makna yang saling berbeda, akan tetapi walaupun maknanya berbeda, masih ada titik temu yang saling berkaitan juga diantara pendapat-pendapat mereka
Bahkan masih ada lagi hadits yang berhubungan dengan hadits di atas, misalnya; hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bin Malik[6]:
لاعمل لمن لانية له
Dan juga pada hadits pada musnad as-Syihab dari Anas bin Malik;
نية المؤمن خير من عمله
      Dari kedua hadits ini tentu sudah jelas bahwa niat itu sangat penting dalam segala hal perbuatan, karena dari niat sesuatu yang awalnya mubah bisa menjadi berpahala dan sesuatu yang tadinya sah,  bisa menjadi tidak sah apabila tidak diniatkan. Bisa juga jika niatnya baik maka perbuatanya akan ikut baik dan mendapat pahala. Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada perbuatan yang ikut menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.

      Penulusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan membangun kaidah "الأمور بمقاصدها" ini.pada permulaan hadits itu terdapat huruf "إنما" yang berfungsi sebagai media “pembatas” rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr). Artinya, ketika kata "الآعمال بالنيات" didahului kata "إنما", maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niat lah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.

B.     HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT
Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada tujuh macam, yaitu:
     1.      Substansi niat
Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Sementara menurut istilah Fuqaha’, niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan yang bersamaan dengan pelaksanaannya. Definisi semavam ini memunculkan asumsi bahwa niat harus dilakukan pada awal ibadah, definisi ini belum bisa mencakup niat dalam ibadah puasa yang tidak bersamaan dengan puasa itu sendiri.
Lain lagi menurut al-Baydhawi, beliau mendefinisakan niat sebagai kehendak yang mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan dengan motif semata-mata mencari ridha Allah swt[7]. Definisi inilah, yang mungkin dapat mencakup semua hukum-hukum cabang (furu’) fiqh, walaupun belum menyentuh pada tataran hukum formal yang sangat berkaitan dengan keabsahan satu bentuk ibadah.
     2.      Status niat
Fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang melihat dari sisi penyebutan harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan niat adalah rukun. Sementara mereka yang memandang bahwa bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan atau menegasikan dan memutuskan niat), akan memberi status niat sebagai syarat.[8]
Menanggapi banyaknya perbedaan pendapat mengenai status niat ini, Taqiyuddin al-Hisni berusaha memadukan dalam ungkapan berikut[9]: “setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan rukun pada pekerjaan itu”. Contohnya shalat, yang tidak akan bisa sah tanpa niat, tetapi untuk mendapat pahala masih tergantung pada niat, seperti halnya perbuatan-perbuatan mubah atau meninggalkan maksiat yang ditunjukkan untuk beribadah, maka niat dinamakan syarat, dalam ini adalah syrat mendapatkan pahala.
     3.      Tempat niat
Dalam Fath al-Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani disebutkan, dalam hadits
إنما الأعمال بالنيات , terdapat kata al-niyyah yang pada sebagian redaksinya meenggunakan kata benda tunggal (mufrod), tidak dengan redaksi al-niyyat (jamak). Menurut suyuti hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tempat niat adalah hati, lain halnya dengan redaksi al-amal yang berbentuk jamak, penyebutan dengan redaksi sesuai dengan aktifitas yang dilakukan organ tubuh sebagai ‘pelaku’ dari pekerjaan itu yang berjumlah banyak. Oleh karenanya, pantas saja jika kata al-a’mal dalam redaksi hadits itu berbentuk jamak. Hal ini dianggap sesuai dengan kenyataan yang ada, bahwa amal yang dilakukan oleh anggota tubuh memang tidak hanya satu macam.  
     4.      Waktu pelaksanaan niat
Pelaksanaan niat secar umum adalah pada awal ibadah. Hal ini didasarkan penelitian ulama yang mengatakan bahwa huruf “ba” yang terdapat pada kata “bi al-niyyat” mempunyai makna membersamakan (mushahabah)[10]. Hal ini memberi sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri, oleh karena nya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan dikerjakan, apalagi didahulukan.
     5.      Hal-hal yang membatalkan niat
·         Riddah atau murtad; yakni terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari I’tiqad (niat), ucapan, atau perbuatan yang menyebabkan kufur.
·         Berniat memutuskan atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
·         Niat mengganti (qalb) atau memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah lain.
·         Ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.

     6.      Tata cara melakukan niat
Dalam pelaksanaannya niat adalah sesuatu yang kondisional tergantung pada manwi (objek yang diniati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan penghalang shalat seperti hadats. Lain lagi dengan shlat, dalam shlat yang diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demikian pula haji, puasa, dan zakat, ketiganya manwi tersendiri.
     7.      Syarat-syarat niat
Niat, seperti yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu. Tanpa syarat-syarat itu, sesorang tidak dapat disebut berniat baik dipandang dari tinjauan syara’ ataupun akal. Diantaranya:
a.       Islam.
b.      Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk).
c.       Mengetahui terhadap yang diniati.
d.      Tidak terdapat hal-hal yang bertentangan antara dan manwinya.

C.   MAKNA KATA
العبرة فى العقود للمقاصد والمعانى لا للأ لفاظ والمبانى
Yang dapat dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk perkataan

Sub kaidah ini akan membuka makna-makna rahasia yang tekandung pada sebuah kata. Menurut al-Suyuthi, makna-makna kata akan terfokus sesuai apa yang dimakasud oleh si pembicara. Kecuali dalam masalah yang berhubungan dengan sumpah. Hal ini dapat dilihat dalam masalah I’tikaf , nadzar, haji, dan lain sebagainya, makna dibalik kata akan disesuaikan dengan maksud pengucapnya. Seperti halnya orang yang mengatakan, “saya akan beri’tikaf” , tanpa menyebutkan batas waktu tertentu. Setelah itu ia keluar dari masjid dengan bermaksud untuk kembali lagi. Ketika masuk masjid lagi dengan maksud meneruskan I’tikaf , maka ia tidak harus memperbaharui niat. Karena niat yang ia lakukan dianggap berlaku untuk dua kali masa I’tikaf. Ini adalah bukti bahwa maksud kata-kata akan terfokuskan maknanya sesuai maksud yang dikehendaki. Lain halnya jika ketika ia keluar tidak punya niat untuk kembali. Maka, karena I’tikaf yang kedua ini sama sekali baru, tentu ia membutuhkan niat yang baru pula.
PENUTUP
    Ø KESIMPULAN
Segala perbuatan dan pekerjaan itu tergantung pada tujuan (niat) nya sebagaimana kaidah fiqih; yakni "الأمور بمقاصدها". Dasar kaidah tersebut jelas ada di al-Quran dan al-Hadits sebagimana berikut ini:
      a.       al-Qur’an surat al-Bayyinah [98] ayat 5:  “mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan – ikhlas dalam beragama (ibadah).”
         b.      Al-Hadits  إنما الأعمال بالنيات“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an mau hadits-hadits yang menjadi dasar dalil dari kaidah fikih tersebut, jadi pada kesimpulannya niat itu harus ada pada setiap perbuatan dan pekerjaan kita.
Niat, karena suatu perbuatan itu harus mempunyai tujuan atau niat,  maka niat pun mempunyai hal-hal yang berhubungan denganya:
·         Substansi niat
·         Status niat
·         Tempat niat
·         Waktu niat
·         Hal-hal yang membatalkan niat
·         Tata cara berniat
·         Syarat-syarat niat
Dan pada suatu makna kata pun memiliki pegangan, pegangan suatu makna kata itu ada pada maksud dan makna, bukan pada lafadz dan bentuk perkataan.  Seperti halnya orang yang mengatakan, “saya akan beri’tikaf” , tanpa menyebutkan batas waktu tertentu. Setelah itu ia keluar dari masjid dengan bermaksud untuk kembali lagi. Ketika masuk masjid lagi dengan maksud meneruskan I’tikaf , maka ia tidak harus memperbaharui niat.

DAFTAR PUSTAKA
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar al-, ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Fath
al-bari syarah shahih Bukhari, Beirut : Dar al-Ma’rifat, 1379 H.
Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad al-, al-wajiz fi idlah Qawaid al-Fiqh
al-Kuliyyah, Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1983 M.
Haq, Abdul, Dkk, formulasi nalar fiqh telah kaidah fiqh konseptual, Surabaya:
 khalista, Jil. 1, 2006.
Dari, Muhammad Muhajirin amsar ad-, Qawaid al-Khomsi al-Bahiyyah, Bekasi :
 Huququ at-Thaba’ Mahfudzat, 1991 M.
Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-: Tafsir jami’
 al-Ahkam. Kairo : Dar al-Sya’b, 1372 H.




[1] Abu ‘abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi: Tafsir Jami’ al-Ahkam. Dar al-Syu’ab, Kairo, Mesir,1372 H. XX/144.
[2] Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih. Khalista, Surabaya:2005. Hal.91
[3] Muhammad muhajirin, qowa’idul khomsil bahiyyah .
[4] Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Al-Fawa’id al- Janiyyah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 1997, hal.109.
[5] Abu al-Farj Abd al-Rahman bin Syihab al-Din Bin Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, I/64, cet. VII, 1997, Muassasah al-Risalah, Beirut, Libanon.
[6] Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Buurunuu, al- Wajiz fi Idhahu qawa’id al-Fiqih al-Kuliyyah, 1983, Muassasah al-Risalah, Beirut, Libanon. hal.45
[7] Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih. Khalista, Surabaya:2005. Hal.96
[8] Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 1/13.
[9] Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih, Op. cit., hal.100
[10] Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih, Op. cit., hal.101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar