PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Kita seringkali dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan
hukum fiqih yang karakternya sama tapi ketentuan hukumnya berbeda-beda. Dengan
kata lain, antar hukum satu dengan hukum lainnya seringkali menampakkan
keruwetan dan kontradiksi yang akut, bagaikan benang kusut yang tak mudah
diurai.
Nah, salah satu solusi untuk mengurai “benang kusut” itu adalah
dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syariat. Jadi , selain kita
harus mempelajari hukum – hukum yang sudah “jadi” (furu’ fiqih) kita juga
dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substansi hukumnya. Cara
satu-satunya untuk mencapai hal itu tidak lain adalah dengan mempelajari
kaidah-kaidah fiqih.
Dalam salah satu kaidah fiqih itu ada kaidah" "الامور بمقاصدها
yang dimana kaidah ini terletak pada kaidah awal (pertama), yang mana pula dalam
kaidah ini diterangkan segala sesuatu tergantung tujuannya, dari kaidah inilah
semua kaidah bermula, karena kaidah pertama ini membahas tentang tujuan
perbuatan, dan tujuan itu cendrung kepada niat. Selain pembahasan niat dan
kandungannya di dalam kaidah “ "الامور بمقاصدها
juga di bahas makna-makna rahasia yang terkandung pada sebuah kata.
Oleh sebab itu untuk mengetahui kaidah ini lebih jelas dan
mengetahui dalil-dalil al-Qur’an dan al-Haditsnya dari kaidah pertama ini serta
mengetahuinya seberapa kuat substansi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
niat, mari sama-sama kita telaah di makalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
dasar dari kaidah "الأمور بمقاصدها" ?
B.
Apa
saja hal-hal yang berhubungan dengan niat
?
C.
العبرة فى العقود للمقاصد والمعانى لا للأ لفاظ والمبانى Apa yang dimaksud dengan kaidah ini?
III.
TUJUAN MASALAH
1.
Supaya
mengetahui lebih jelas tentang kaidah "الأمور
بمقاصدها".
2.
Agar
bisa memahami hukum furu’ fiqih dengan cermat dan tidak saling menyalahi satu
sama lain.
PEMBAHASAN
Dalam tataran
realitas kita pun mengakui bahwa setiap perbuatan yang kita kerjakan pasti
didasari motivasi ataupun tujuan tertentu. Jika tidak ada tujuan, maka
perbuatan itu pastilah bersifat spekulatif. Kita makan karena ingin kenyang,
minum untuk mengobati haus, tidur untuk mengistirahatkan badan, ibadah untuk
mendekatkan diri kepada tuhan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa niat
mempunyai posisi sangat penting (krusial). Dianggap krusial karena ia
menentukan segala gerak-langkah dan kontruksi pekerjaan yang kita lakuka, yang
berkonsekuensi pada perbuatan itu menjadi bernilai baik atau tidak? Beretika
atau tidak? Termasuk ibadah atau tidak? Berpahala atau hambar tak bermakna?
Pada kondisi inilah kaidah "الأمور بمقاصدها" ini amat penting
dipahami.
Dalam kaidah
pertama ini dijelaskan beragam hal yang berkaitan dengan niat, baik tentang apa
hakikat niat, kenapa harus berniat, kapan harus dilakukan, apa saja yang harus
diniati, bagaimana caranya, dan masih bnyak pertanyaan lainnya. Dengan
mengetahui semua itu, maka kita akan memaknai hidup kita menjadi lebih
berkualitas, baik di dunia maupun di akhirat.
A.
DASAR KAIDAH
1.
Al-Qur’an
Mengenai keharusan melakukan niat
dalam ibadah, Allah swt. Menyatakan dalam
al-Qur’an surat al-Bayyinah [98] ayat 5:
وماأمرا
الا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“mereka (orang-orang
kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah,
seraya memurnikan – ikhlas dalam beragama (ibadah).”
Kata ad-din dalam bahasa arab,
secara umum biasa diartikan sebagai agama. Namun dalam konteks ayat di atas,
al-Qurthubi menafsirinya sebagai ibadah[1].
Dengan penafsiran ini, beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin,
adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah, ikhlas
sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat.
Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan yang tak bisa dipisahkan antara
ibadah dan niat. Berniat merupakan hal yang wajib; seperti diwajibkannya ikhlas
dalam beribadah. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Apabila diamati secara seksama, dalam ayat
ini terdapat rajutan yang sangat kuat antara ibadah, niat, ikhlas, dan
pengesaan kepada Allah swt. Bagaimana mungkin seseorang yang atheis, misalnya,
akan punya niat untuk beribadah. Paling banter ia hanya bertindak dengan
orientasi materialisme (kebendaan) yang ada dalam benaknya. Sama sekali tidak
ada dimensi ikhlas dalam hatinya. Jangankan ikhlas, niat yang seharusnya
menjadi pijakan dan tolak ukur awal dalam berbuat, sama sekali tidak diindahkan
olehnya. Ada jurang pemisah yang menganga lebar antara peribadi mukmin dan jiwa
seorang atheis. Niat, ibadah, ikhlas, dan peng-esa-an pada yang maha kuasa
adalah proses berkelanjutan yang selalu terkait satu sama lain, dan mampu
menunjukan perbedaan jati diri pada kedua entitas itu[2].
Pembahasan mengenai niat, ibadah, ikhlas,
dan hal-hal yang bersinggungan dengannya, merupakan pesan yerdalam ayat di
atas, sehingga dari sinilah terbangun kaidah
"الأمور بمقاصدها".
2.
Al-Hadits
Hadits
Nabi saw. Yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah:
إنما
الأعمال بالنيات
“keabsahan amal-amal
tergantung pada niat”
Hadits ini termasuk katagori hadits
mashur, dan dalam kitab qowa’idul khomsil bahiyyah hadits ini ada pada derajat
(tingkatan) mutawwatir[3].
Pada tahapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan
interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak
bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi
“tiada” dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemakan seadanya,
tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti “ sebuah
perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak
perbuatan yang bisa “ada” tanpa melalui niat. Mengutip analisis Muhammad Yasin
al-Fadani, maksud hadits di atas adalah penilaian terhadap predikat sebuah
pekerjaan yang terkait erat dengan keberadaan atau eksistensinya; seperti sah
atau sempurna[4].
Dengan adanya penilaian ini, suatu keabsahan atau kesempurnaan pekerjaan sangat
tergantung pada niat pelakunya.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan
pendapat antar ulama seputar penafsiran substansi hadits di atas. Sementara
ulam yang diwakili kalangan Syafi’iyyah, menjelaskan bahwa titik penekanannya
hadits ini hanya berkisar tentang “keabsahan” sebuah pekerjaan. Lain lagi
dengan golongan Hanafiyyah yang menafsirinya dengan makna “kesempurnaan
pekerjaan”.
Disamping perbedaan diatas, ternyata masih ada ulam yang memiliki
pandangan lain. Ulama muta’akhkhirin madzhab Hanbali misalnya, bahwa yang
dimaksud amal perbuatan dalam hadits tersebut hanyalah amal-amal syar’i, yakni
setiap perbuatan yang dilakukan dalam konstruksi hukum-hukum syariat. Di lain
pihak juga, ada pula ulama yang berpendapat bahwa kata الأعمال dalam hadits itu harus dimaknai sebagai: senua perbuatan,
menurut penafsiran Ibnu Hanbal ini, yang dimaksud الأعمال
dalam hadits tersebut adalah seluruh perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh
manusia.[5]
Dan bahwa pekerjaan itu tidak akan terlaksana tanpa adanya kesengajaan dari
pihak pelaku.
Banyak sekali ulama yang menafsirkan atau memaknai hadits ini
dengan makna yang saling berbeda, akan tetapi walaupun maknanya berbeda, masih
ada titik temu yang saling berkaitan juga diantara pendapat-pendapat mereka
Bahkan masih ada lagi hadits yang berhubungan dengan hadits di
atas, misalnya; hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bin Malik[6]:
لاعمل لمن لانية له
Dan juga pada hadits pada musnad
as-Syihab dari Anas bin Malik;
نية المؤمن خير من عمله
Dari kedua hadits ini tentu sudah jelas
bahwa niat itu sangat penting dalam segala hal perbuatan, karena dari niat
sesuatu yang awalnya mubah bisa menjadi berpahala dan sesuatu yang tadinya
sah, bisa menjadi tidak sah apabila
tidak diniatkan. Bisa juga jika niatnya baik maka perbuatanya akan ikut baik
dan mendapat pahala. Sebaliknya, jika niatnya jelek maka akan berimbas pada
perbuatan yang ikut menjadi jelek dan sekaligus mendapatkan dosa.
Penulusuran secara semantik juga akan
menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa
elemen penting yang membuatnya layak dijadikan bahan pijakan membangun kaidah "الأمور بمقاصدها" ini.pada permulaan
hadits itu terdapat huruf "إنما"
yang berfungsi sebagai media “pembatas” rangkaian kalimat sesudahnya (adat
al-hashr). Artinya, ketika kata "الآعمال
بالنيات" didahului kata "إنما",
maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niat lah amal perbuatan
seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan
selainnya.
B.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT
Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada tujuh
macam, yaitu:
1.
Substansi niat
Niat secara etimologi adalah
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan niat dalam pengertian syariat adalah
ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Sementara menurut istilah Fuqaha’,
niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan yang bersamaan dengan
pelaksanaannya. Definisi semavam ini memunculkan asumsi bahwa niat harus
dilakukan pada awal ibadah, definisi ini belum bisa mencakup niat dalam ibadah
puasa yang tidak bersamaan dengan puasa itu sendiri.
Lain lagi menurut al-Baydhawi,
beliau mendefinisakan niat sebagai kehendak yang mendorong seseorang melakukan
suatu perbuatan dengan motif semata-mata mencari ridha Allah swt[7].
Definisi inilah, yang mungkin dapat mencakup semua hukum-hukum cabang (furu’)
fiqh, walaupun belum menyentuh pada tataran hukum formal yang sangat berkaitan
dengan keabsahan satu bentuk ibadah.
2.
Status niat
Fuqaha berbeda pendapat dalam
menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan rukun atau syarat.
Perbedaan ini bermula dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah
yang mereka hadapi. Ulama yang melihat dari sisi penyebutan harus dilakukan
pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan niat adalah rukun. Sementara mereka
yang memandang bahwa bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang
bertentangan atau menegasikan dan memutuskan niat), akan memberi status niat
sebagai syarat.[8]
Menanggapi banyaknya perbedaan
pendapat mengenai status niat ini, Taqiyuddin al-Hisni berusaha memadukan dalam
ungkapan berikut[9]:
“setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat, maka ia dinamakan
rukun pada pekerjaan itu”. Contohnya shalat, yang tidak akan bisa sah tanpa
niat, tetapi untuk mendapat pahala masih tergantung pada niat, seperti halnya
perbuatan-perbuatan mubah atau meninggalkan maksiat yang ditunjukkan untuk
beribadah, maka niat dinamakan syarat, dalam ini adalah syrat mendapatkan
pahala.
3.
Tempat niat
Dalam Fath al-Bari karya Ibnu Hajar
al-Asqalani disebutkan, dalam hadits
إنما الأعمال بالنيات , terdapat kata al-niyyah
yang pada sebagian redaksinya meenggunakan kata benda tunggal (mufrod), tidak
dengan redaksi al-niyyat (jamak). Menurut suyuti hal ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tempat niat adalah hati, lain halnya
dengan redaksi al-amal yang berbentuk jamak, penyebutan dengan redaksi
sesuai dengan aktifitas yang dilakukan organ tubuh sebagai ‘pelaku’ dari
pekerjaan itu yang berjumlah banyak. Oleh karenanya, pantas saja jika kata al-a’mal
dalam redaksi hadits itu berbentuk jamak. Hal ini dianggap sesuai dengan
kenyataan yang ada, bahwa amal yang dilakukan oleh anggota tubuh memang tidak
hanya satu macam.
4.
Waktu pelaksanaan niat
Pelaksanaan niat secar umum adalah
pada awal ibadah. Hal ini didasarkan penelitian ulama yang mengatakan bahwa
huruf “ba” yang terdapat pada kata “bi al-niyyat” mempunyai makna
membersamakan (mushahabah)[10].
Hal ini memberi sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu
sendiri, oleh karena nya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan
dikerjakan, apalagi didahulukan.
5.
Hal-hal yang membatalkan niat
·
Riddah
atau murtad; yakni terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan
dari I’tiqad (niat), ucapan, atau perbuatan yang menyebabkan kufur.
·
Berniat
memutuskan atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
·
Niat
mengganti (qalb) atau memindah (naql) satu ibadah dengan ibadah lain.
·
Ketidakmampuan
orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.
6.
Tata cara melakukan niat
Dalam pelaksanaannya niat adalah
sesuatu yang kondisional tergantung pada manwi (objek yang diniati).
Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan
penghalang shalat seperti hadats. Lain lagi dengan shlat, dalam shlat yang
diniati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Demikian pula haji, puasa, dan zakat,
ketiganya manwi tersendiri.
7.
Syarat-syarat niat
Niat, seperti yang telah dipaparkan
diatas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat
tertentu. Tanpa syarat-syarat itu, sesorang tidak dapat disebut berniat baik
dipandang dari tinjauan syara’ ataupun akal. Diantaranya:
a.
Islam.
b.
Tamyiz
(dapat membedakan baik dan buruk).
c.
Mengetahui
terhadap yang diniati.
d.
Tidak
terdapat hal-hal yang bertentangan antara dan manwinya.
C.
MAKNA KATA
العبرة
فى العقود للمقاصد والمعانى لا للأ لفاظ والمبانى
Yang dapat
dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan makna; bukan lafadz dan bentuk
perkataan
Sub kaidah ini akan membuka makna-makna rahasia yang tekandung pada
sebuah kata. Menurut al-Suyuthi, makna-makna kata akan terfokus sesuai apa yang
dimakasud oleh si pembicara. Kecuali dalam masalah yang berhubungan dengan
sumpah. Hal ini dapat dilihat dalam masalah I’tikaf , nadzar, haji, dan
lain sebagainya, makna dibalik kata akan disesuaikan dengan maksud pengucapnya.
Seperti halnya orang yang mengatakan, “saya akan beri’tikaf” , tanpa
menyebutkan batas waktu tertentu. Setelah itu ia keluar dari masjid dengan
bermaksud untuk kembali lagi. Ketika masuk masjid lagi dengan maksud meneruskan
I’tikaf , maka ia tidak harus memperbaharui niat. Karena niat yang ia
lakukan dianggap berlaku untuk dua kali masa I’tikaf. Ini adalah bukti
bahwa maksud kata-kata akan terfokuskan maknanya sesuai maksud yang
dikehendaki. Lain halnya jika ketika ia keluar tidak punya niat untuk kembali.
Maka, karena I’tikaf yang kedua ini sama sekali baru, tentu ia
membutuhkan niat yang baru pula.
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Segala perbuatan dan pekerjaan itu
tergantung pada tujuan (niat) nya sebagaimana kaidah fiqih; yakni "الأمور بمقاصدها". Dasar kaidah
tersebut jelas ada di al-Quran dan al-Hadits sebagimana berikut ini:
a.
al-Qur’an
surat al-Bayyinah [98] ayat 5: “mereka
(orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah)
kepada Allah, seraya memurnikan – ikhlas dalam beragama (ibadah).”
b.
Al-Hadits
إنما
الأعمال بالنيات“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
Dan masih
banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an mau hadits-hadits yang menjadi dasar dalil dari
kaidah fikih tersebut, jadi pada kesimpulannya niat itu harus ada pada setiap
perbuatan dan pekerjaan kita.
Niat, karena
suatu perbuatan itu harus mempunyai tujuan atau niat, maka niat pun mempunyai hal-hal yang
berhubungan denganya:
·
Substansi
niat
·
Status
niat
·
Tempat
niat
·
Waktu
niat
·
Hal-hal
yang membatalkan niat
·
Tata
cara berniat
·
Syarat-syarat
niat
Dan pada suatu
makna kata pun memiliki pegangan, pegangan suatu makna kata itu ada pada maksud
dan makna, bukan pada lafadz dan bentuk perkataan. Seperti halnya orang yang mengatakan, “saya
akan beri’tikaf” , tanpa menyebutkan batas waktu tertentu. Setelah itu ia
keluar dari masjid dengan bermaksud untuk kembali lagi. Ketika masuk masjid
lagi dengan maksud meneruskan I’tikaf , maka ia tidak harus
memperbaharui niat.
DAFTAR PUSTAKA
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar al-, ed. Muhammad Fu’ad Abd
al-Baqi, Fath
al-bari syarah shahih Bukhari, Beirut
: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.
Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad al-, al-wajiz fi idlah Qawaid
al-Fiqh
al-Kuliyyah, Beirut :
Mu’assasah al-Risalah, 1983 M.
Haq, Abdul, Dkk, formulasi nalar fiqh telah kaidah fiqh
konseptual, Surabaya:
khalista, Jil. 1, 2006.
Dari, Muhammad Muhajirin amsar ad-, Qawaid al-Khomsi
al-Bahiyyah, Bekasi :
Huququ at-Thaba’ Mahfudzat,
1991 M.
Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-: Tafsir
jami’
al-Ahkam. Kairo : Dar al-Sya’b, 1372 H.
[1]
Abu ‘abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi: Tafsir
Jami’ al-Ahkam. Dar al-Syu’ab, Kairo, Mesir,1372 H. XX/144.
[2]
Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih. Khalista, Surabaya:2005. Hal.91
[4]
Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Al-Fawa’id al- Janiyyah, Beirut:
Dar al-Fikr, cet. I, 1997, hal.109.
[5]
Abu al-Farj Abd al-Rahman bin Syihab al-Din Bin Rajab, Jami’ al-Ulum wa
al-Hikam, I/64, cet. VII, 1997, Muassasah al-Risalah, Beirut, Libanon.
[6]
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Buurunuu, al- Wajiz fi Idhahu qawa’id al-Fiqih
al-Kuliyyah, 1983, Muassasah al-Risalah, Beirut, Libanon. hal.45
[7]
Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih. Khalista, Surabaya:2005. Hal.96
[8]
Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 1/13.
[9]
Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih, Op. cit., hal.100
[10]
Abdul haq, dkk, formulasi nalar fiqih, Op. cit., hal.101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar