PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Islam mengenal dua
sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut.
Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga
terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada
perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan
spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya
hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan
Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang
pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits
dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi
ke generasi.
Setelah Nabi wafat
pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad
SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan
kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber
informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di
tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah
dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia
secara materil ketika Nabi Muahammad SAW wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an
yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan
prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal
membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul
kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai
menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan
dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam
hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi
penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian
disebut dengan hadits.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana pembukuan hadis periode mutaqaddimin?
B. Bagaimana modifikasi hadis periode
mutaakhkhirin?
C. Bagaimana penelitian hadis periode
kontenporer?
PEMBAHASAN
A.
Pembukuan hadis periode
mutaqaddimin
Yang dimaksud dengan mutaqaddimin adalah periode yang
berada anatar fase abad I hingga III hijriyah yang dimulai dari masa
awal hijrahnya Rasulullah saw hingga masa tabi’in, masa ini kemudian
diistilahkan oleh para ulama dengan al-Quruan al-Mufaddalah (abad
yang dimuliakan)[1].
Pembukuan hadis pada masa mutaqaddimin
terjadi dimulai pada abad akhir ke II H.
Hadis pada masa Rasulullah saw dan khulafa’
al-rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat
kaitannya dengan larangan penulisan selain al-Qur’an oleh Rasulullah saw[2]. meskipun terdapat juga
hadis yang membolehkan penulisannya.
Hadis yang melarang penulisan misalnya adalah:
عَنْ
أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا
عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ – قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ –
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa
Rasulullah saw. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis
dariku selain al-Qur’an, hendaklah diamenghapusnya. Riwayatkanlah apa yang
datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara
sadar, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.
Sedangkan
hadis yang membolehkan penulisan hadis [3]adalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ،
قَالَ : كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أُرِيدُ حِفْظَهُ ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ عَنْ
ذَلِكَ ، وَقَالُوا : تَكْتُبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ ، حَتَّى ذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : اكْتُبْ ،
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.
Terjemahannya:
“Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar
dari Rasulullah saw. untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya
berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu
marah dan ridha? Lalu saya diamhingga aku laporkan ke Rasulullah saw. dan
berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang
keluar dariku kecuali kebenaran.
Ulama berusaha untuk mempertemukan dan mendamaikan kedua hadis
yang kelihatannya bertentangan satu sama lain dengan beberapa cara:
1.Hadis Abu Sa’id al-Khudri termasuk
hadis mauquf sehingga tidak layak menjadi hujjah.
Sedangkan hadis Abdullah ibn ‘Amr sahih.
2. Larangan penulisan hadis itu terjadi pada awal Islam karena khawatir bercampur baur dengan al-Qur’an, sedangkan hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis sebelumnya.
3. Larangan penulisan hadis itu terjadi jika dilakukan dalam satu mushaf dengan al-Qur’an.
4. Larangan itu berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan dikhawatirkan beralih ke tulisan, sedangkan izin berlaku yang tidak kuat hafalannya.
5. Larangan penulisan hadis berlaku secara umum, sedangkan izin diberikan kepada orang yang tidak dikhawatirkan salah penulisan dan sembrono.
2. Larangan penulisan hadis itu terjadi pada awal Islam karena khawatir bercampur baur dengan al-Qur’an, sedangkan hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis sebelumnya.
3. Larangan penulisan hadis itu terjadi jika dilakukan dalam satu mushaf dengan al-Qur’an.
4. Larangan itu berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan dikhawatirkan beralih ke tulisan, sedangkan izin berlaku yang tidak kuat hafalannya.
5. Larangan penulisan hadis berlaku secara umum, sedangkan izin diberikan kepada orang yang tidak dikhawatirkan salah penulisan dan sembrono.
Oleh karena itu, penulisan hadis (al-kitabah al-Hadis) telah
terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya.
Di antara penulis hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Umamah
al-Bahil (10 SH-81 H), Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H), Abu Bakar al-Syiddiq (50
SH-13 H) dan sahabat-sahabat lain yang jumlahnya mencapai 50-an.
Kemudian pada tingkat tabi’in, muncul juga beberapa penulis hadis
antara lain, Aban ibn Usman ibn ‘Affan (20-105 H), Ibrahim ibn Yazid al-Nakha’i
(47-96 H), Abu Salamah ibn Abd Rahman (32-104 H) dan tabi’in-tabi’in yang
mencapai 100-an. Kemudian dilanjutkan oleh tabi’in muda dan beberapa pengikut
tabi’in.
Pada ketiga masa (abad I-III) penulisan hadis telah terjadi, namun
masih dalam bentuk tulisan-tulisan individu dan belum terpisah antara satu
dengan yang lainnya, mengingat anatara ketiga memiliki bentuk pembatasan
periwayatan[4].
Bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan tersebut adalah:
1. Pada masa Rasulullah saw terjadi
pelarangan penulisan hadis dari beliau saw, karena kekhawatiran tercampurnya
al-Qur’an dengan hadis.
2. Pada masa Sahabat Nabi saw terjadi
pembatasan riwayat disebabkan Karen kekhawatiran para KhulafaU Al-Rasyidin umat Islam mengkonsentrasikan diri mencari dan
menghafalkan hadis dan mengabaikan al-Qur’an .
3. Pada masa Tabi’in periwayatan masih
sebatas periwayatan \lisan dan tulisan yang terdapat dalam individu-individu.
Kodofikasi hadis (tadwin al-hadis) baru terjadi pada akhir masa
sahabat yaitu pada saat Umar ibn Abd al-Aziz menjadi khalifah dari tahun 99 H
hingga 101 H[5].
dengan memerintahkan para gubernurnya dan para ulama untuk mengumpulkan
hadis-hadis Nabi karena khawatir terhadap pembelajaran hadis dan punahnya para
pakar hadis.
Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang
merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (w.
101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar
bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin hadis.
Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi
maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan
hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan
kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi salih dan
cinta kepada ilmu pengetahuan, sangat berkeinginan untuk segera menghimpun
hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai
Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik
(86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan
dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di
berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar
seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan.
Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr
bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M)[6]. Isi surat itu ialah:
1. Khalifah merasa khawatir akan
punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan
2. Khalifah memerintahkan agar
hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera
dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan
tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm
mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum
khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742
M)[7]. Dia seorang ulama besar
di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh
khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.
Walaupun
khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan
hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul
berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang
karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal
muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w.
150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H), dan ada yang
menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun
hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi
periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan
al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan
al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya
Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w.
241 H).
Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada
yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya
kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang
berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi
(w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari
adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah SAW
wa Sunnatihi wa Ayyamihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau
Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-musnad
al-sahih al-mukhtasar min al-sunan bi al-naql al-‘adl ‘an ‘adl rasulullah saw”
dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di
samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti
bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya
itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun
kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i
(w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H).
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan
al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis
standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar).
Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama
menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama
berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat
kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H).
Periode ini merupakan periode lahirnya kitab-kitab riwayah
seperti; Mushannaf, muwaththa’, musnad, sunan, shahih sebagaimna yang telah
dijelaskan.
B. Kodifikasi
hadis periode mutaakhkhirin
Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan seterusnya disebut
ulama muta’akhirin atau khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H
disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf (klasik)[8].
Perbedaan mereka dalam dalam periwayatan dan kodifikasi hadis, ulama
mutaqaddimin menhimpun Hadis Nabi dengan jalan langsung mendengar dari
guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan sanadnya.
Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatannya dan pembukuannya bereferensi dan
mengutip dari kitab-kitab ulama mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak
penambahan Hadis pada masa ini dan berikutnya kecuali sedikit saja dan dari
segi pembukuan lebih sistematik dari pada sebelumnya. Kegiatan pembukuan hadis
dalam bentuk ikhtisar (resume), istikhraj, dan syarah (ulasan).
Diantara
perkembangan buku Hadis pada masa abad IV ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam yang ditulis oleh Sulayman bin Ahmad
al-Thabrani (w 360 H) yang terbagi dalam tiga Mu’jamnya yaitu[9]:
a. Al-Mu’jam
al-Kabir,penghimpunan Hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara
abjad, hanya dimuli dari 10 sahabat yang digembirakan masuk surga oleh
Rasulullah. Mu’jam ini memuat kurang lebih 525.000
hadis.
b. Al-Mu’jam al-Aswath
c. Al-Mu’jam Al-Asghar, kedua
Mu’jam yang belakangan ini menghimpun beberapa Hadis berdasarkan yang diperoleh
dari syeiknya yang abjadi, hanya bentuknya yang membedakan antara keduanya.
Jika Al-Mu’jam Al-Ausath tengah-tengah atau sedang, Al-Mu’jam Al-Asghar lebih
sederhana. Kitab Mu’jam seperti kamus ialah penghimpunan hadis didasarkan pada
nama musyyaikhnya atau negeri tempat tinggalnya atau kabilah secara abjadi.
2. Shahih,
artinya diantara metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis shahihayn
(Bukhari dan Muslim)[10],
yaitu sebagai berikut:
a. Shahih Ibn
Hibban al-Bas’ti (w. 354 H)
b. Shahih Ibn
Khuzaimah (w.311)
c. Shahih Ibn
Al-Sakan (w. 353 H)
d. Al-Mustadrak
‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim al-Nasyabiri (w.405 H). kitab
Mustadrak Artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam
kitab Al-Bukhari Muslim dan menurutnya dan menurutnya telah memenuhi syarat
keduanya.
3. Sunan,
metode penulisannya sperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum dan kualitasnya
meliputi hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, [11]yaitu
sebagai berikut:
a. Muntaqa Ibn
Al-Jarud (w.307 H)
b. Sunan Al-Daru
Qutni (w. 385 H)
c. Sunan Al-Baihaqi
(w. 458 H), Al-Baihaqi memang wafatnya belakangan akan tetapi
umumnya dimasukkan ke abad 4, karena metode penulisannya yang mirip pembukuan
abad 4 H.
4. Syarah,
yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama
maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan
ayat atau hadis[12],
misalnya:
a. Syarh Ma’ani
Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w.321 H)
b. Syarh Musykil
Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w. 321 H)
5. Mustakhraj,
metode penulisan istikhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan
beberapa hadits dari sebuah buku hadis seperti yang diterima gurunya sendiri
dengan menggunakan sanad sendiri[13].
Misalnya Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala shahih al-Bukhari (w.
371 H)
6. Gabungan
beberapa buku Hadis, yaitu sebagai berikut:
a. Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u
al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal
dengan Ibn Al-Furat
b. Gabungan dua kitab
shahih “al-Jam’u al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Al-Husin bin
Mas’ud Al-Baghawi (w. 516 H).
c. Gabungan lima kitab “al-Tajrid li
al-Shahih wa al-Sunan” yaitu gabungan Shahihayn, muwaththa, dan kitab-kitab
sunan selain Ibn Majah, yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Razin bin Muawiyah
Al-Sirqisthi. (W. 535 H).
d. Gabungan enam kitab, “jami’Al-Ushul li
Ahadits al-Rasul” yang ditulis oleh Ibn Atsir Al-Jazari” (w.606 H).
Periode
ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan
hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abbasiyah angkatan
ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim
Billah[14].
Pada
periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tidak
mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama
pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan
mengembangkan hadis.
Pada
periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis
terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terkodifikasi dalam bentuk kitab
sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling
menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis
Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa
dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan
tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang
saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab
yang telah disusun olehmutaqaddimin.
Para
ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan menyusun hadis dalam
bentuk musannaf dan musnad juga menyusun kitab dengan
sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab
yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan
penyusunnya sebagai berikut;
1. Kitab Atraf adalah kitab yang disusun
dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian
menjelaskan saanad dan matannya[15],
ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf
al-Sahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya
Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani
al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H), Atraf Kutub al-Sittahkarya
Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis al-Mukhtarah karya
Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya
al-’Iraqi (w. 806 H),Atraf al-Masanid al-’Asyarah karya Syihab al-Din
al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab
Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun
meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda[16]. Dianatara kitab-kitab
yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih
al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah
(w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar
Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya
al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’
’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij alhadis al-Baagawi karya
al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat
dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij alhadis al-Kasysyaf karya
Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh
al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis
yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah
satu siantara keduanya[17], dianatara kitab-kitab
hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah
: al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H),
dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni (w. 385 H).
4. Kitab
Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitab yang telah adalah,
diantara kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan
Muslim[18].
1. Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu
al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2. Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya
Muhammad ibnu Nasr al-Humaidi (w. 488 H)
3. Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya
al-Bagawi (w. 516 H)
Ø Kitab-kitab
yang menghimpun hadis-hadis dari Kutub al-Tis’ah:
1. Tadriju
al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir
al- Jazairi pada kitab yang diberi judul”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi
al-Rasul.
2. Al-Jami’ karya
Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
Ø Kitab-kitab
yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1. Masabih
al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al-Tabrizi dengan
judul ”Misykat al-Masabih”
2. Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali
al-Jauzi (w. 579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh
al-Tabari.
3. Bahru
al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
C.
Penelitian hadis periode kontemporer
Setelah
terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan
pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer
kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan
mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara
metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer
dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai
berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian
terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij
salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan
penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin
al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalahIrwa’ al-Galil fi
Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum
akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin
Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah,
al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang
berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara
karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah
dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun
mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtas\ar Sahih
al-Bukhari dan Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Metode tematik, yaitu mengumpulkan
hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan
penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut,
kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk
menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis,
maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya
metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital yaitu melakukan penelitian
hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna
memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara
program-program tersebut adalah :
a. Program Kutub al-Tis’ah program ini
adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu
Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana
masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan
sisilah sanad.
b. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh
kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun
zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain
kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan
dengan ‘Ulum al-Hadis.
c. Program Maktabah al-Syamilah program
ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah
al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi,
Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu
dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan
mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, sehingga dengan demikan dapat memudah para
peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap
hadis-hadis-hadis Nabi saw.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian Hadis
sampai pada abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan
tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang Hadis, kecuali
hanya membaca, memahami, Takhrij, dan memberikan syarah Hadis-Hadis yang telah
terhimpun sebelumnya.
Dengan
memperhatikan apa yang telah diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan,
bahwa merekalah ilama’ yang mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk
membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat
yang diterima dari antara seluruh umat, karna memang ulama-ulama Islam
sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan
kepadanya.
Semua
itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis
pemisah antara shahih dan dho’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal
usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudu’.
B. Saran
Diakhir
tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam hendaknya
kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal.
Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai
tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap orang tetap
bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada.
Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan
kependidikan bagi semua.
3. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri.
Amin yaa Rabbal Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Damanhuri. 2009. Studi Hadts.
Cet I. Surabaya: Sinar Terang.
Khon, Abd Majid. 2010. Ulumul
Hadits. Cet IV. Jakarta: Amzah.
Solahudin, Agus. Ulumul Hadits.
Bandung: Pustaka Setia.
[1]
Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, cet IV. Jakarta: Amzah. 2010. Hal. 58.
[4]
Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, cet IV. Jakarta: Amzah. 2010. Hal. 48.
[6]
Agus Solahudin, Ulumul Hadits, cet I, Bandung: pustaka setia, 2008. Hal. 62
Agus Solahudin, op., cit, hal 62.
[7] Agus
Solahudin, op. cit, hal 62.
[8]
Abdul Majid khon,op. cit, Hal. 58.
[9]Agus
Solahudin, op. cit, hal 65.
[10] Abdul
Majid khon, op. cit, hal 60.
[11] Abdul
Majid khon, op. cit, hal 60.
[12] Abdul
Majid khon, op. cit, hal. 60
[13] Abdul
Majid khon, op. cit, hal.60
[14] Abdul
Majid khon, op. cit, hal.60
[15]Agus
Solahudin, op. cit, hal 68.
[16]
Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[17]
Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[18]
Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar