Senin, 18 April 2016

SEJARAH PEMBUKUAN HADITS





PENDAHULUAN

I.                  LATAR BELAKANG
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
II.               RUMUSAN MASALAH
A.   Bagaimana pembukuan hadis periode mutaqaddimin?
B.   Bagaimana modifikasi hadis periode mutaakhkhirin?
C.   Bagaimana penelitian hadis periode kontenporer?
PEMBAHASAN

A.    Pembukuan hadis periode mutaqaddimin

Yang dimaksud dengan mutaqaddimin adalah periode yang berada anatar fase abad I hingga III hijriyah yang dimulai dari masa awal hijrahnya Rasulullah saw hingga masa tabi’in, masa ini kemudian diistilahkan oleh para ulama dengan al-Quruan al-Mufaddalah (abad yang dimuliakan)[1]. Pembukuan hadis  pada  masa  mutaqaddimin terjadi dimulai pada abad akhir ke II H.
Hadis pada masa Rasulullah saw dan khulafa’ al-rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain al-Qur’an oleh Rasulullah saw[2]. meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya.
Hadis yang melarang penulisan misalnya adalah:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ – قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ – مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah diamenghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.

Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis [3]adalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أُرِيدُ حِفْظَهُ ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ عَنْ ذَلِكَ ، وَقَالُوا : تَكْتُبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ ، حَتَّى ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : اكْتُبْ ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.
Terjemahannya: “Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan ridha? Lalu saya diamhingga aku laporkan ke Rasulullah saw. dan berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali kebenaran.

Ulama berusaha untuk mempertemukan dan mendamaikan kedua hadis yang kelihatannya bertentangan satu sama lain dengan beberapa cara:
1.Hadis Abu Sa’id al-Khudri termasuk hadis mauquf sehingga tidak layak menjadi hujjah. Sedangkan hadis Abdullah ibn ‘Amr sahih.
2. Larangan penulisan hadis itu terjadi pada awal Islam karena khawatir bercampur baur dengan al-Qur’an, sedangkan hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis sebelumnya.
3.   Larangan penulisan hadis itu terjadi jika dilakukan dalam satu mushaf dengan al-Qur’an.
4. Larangan itu berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan dikhawatirkan beralih ke tulisan, sedangkan izin berlaku yang tidak kuat hafalannya.
5.   Larangan penulisan hadis berlaku secara umum, sedangkan izin diberikan kepada orang yang tidak dikhawatirkan salah penulisan dan sembrono.

Oleh karena itu, penulisan hadis (al-kitabah al-Hadis) telah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antara penulis hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Umamah al-Bahil (10 SH-81 H), Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H), Abu Bakar al-Syiddiq (50 SH-13 H) dan sahabat-sahabat lain yang jumlahnya mencapai 50-an.
Kemudian pada tingkat tabi’in, muncul juga beberapa penulis hadis antara lain, Aban ibn Usman ibn ‘Affan (20-105 H), Ibrahim ibn Yazid al-Nakha’i (47-96 H), Abu Salamah ibn Abd Rahman (32-104 H) dan tabi’in-tabi’in yang mencapai 100-an. Kemudian dilanjutkan oleh tabi’in muda dan beberapa pengikut tabi’in.
Pada ketiga masa (abad I-III) penulisan hadis telah terjadi, namun masih dalam bentuk tulisan-tulisan individu dan belum terpisah antara satu dengan yang lainnya, mengingat anatara ketiga memiliki bentuk pembatasan periwayatan[4]. Bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan tersebut adalah:
1. Pada masa Rasulullah saw terjadi pelarangan penulisan hadis dari beliau saw, karena kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadis.
2. Pada masa Sahabat Nabi saw terjadi pembatasan riwayat disebabkan Karen             kekhawatiran   para KhulafaU Al-Rasyidin umat Islam mengkonsentrasikan diri mencari dan menghafalkan hadis dan mengabaikan al-Qur’an .
3.  Pada masa Tabi’in periwayatan masih sebatas periwayatan \lisan dan tulisan yang terdapat dalam individu-individu.

Kodofikasi hadis (tadwin al-hadis) baru terjadi pada akhir masa sahabat yaitu pada saat Umar ibn Abd al-Aziz menjadi khalifah dari tahun 99 H hingga 101 H[5]. dengan memerintahkan para gubernurnya dan para ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi karena khawatir terhadap pembelajaran hadis dan punahnya para pakar hadis.
Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abdul  ‘Aziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi salih dan cinta kepada ilmu pengetahuan, sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan.
Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M)[6]. Isi surat itu ialah:
1. Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan
2. Khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia. Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M)[7]. Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya.
Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah SAW wa Sunnatihi wa Ayyamihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-musnad al-sahih al-mukhtasar min al-sunan bi al-naql al-‘adl ‘an ‘adl rasulullah saw” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H).
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H).
Periode ini merupakan periode lahirnya kitab-kitab riwayah seperti; Mushannaf, muwaththa’, musnad, sunan, shahih sebagaimna yang telah dijelaskan.

B. Kodifikasi hadis periode mutaakhkhirin
Ulama yang hidup pada abad ke 4 H dan seterusnya disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern) sedang yang hidup sebelum abad 4 H disebut ulama mutaqaddimin atau ulama salaf (klasik)[8]. Perbedaan mereka dalam dalam periwayatan dan kodifikasi hadis, ulama mutaqaddimin menhimpun Hadis Nabi dengan jalan langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan sanadnya. Sedang ulama mutaakhirin cara periwayatannya dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab ulama mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan Hadis pada masa ini dan berikutnya kecuali sedikit saja dan dari segi pembukuan lebih sistematik dari pada sebelumnya. Kegiatan pembukuan hadis dalam bentuk ikhtisar (resume), istikhraj, dan syarah (ulasan).
     Diantara perkembangan buku Hadis pada masa abad IV ialah sebagai berikut:
1.   Mu’jam yang ditulis oleh Sulayman bin Ahmad al-Thabrani (w 360 H) yang terbagi dalam tiga Mu’jamnya yaitu[9]:
a. Al-Mu’jam al-Kabir,penghimpunan Hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad, hanya dimuli dari 10 sahabat yang digembirakan masuk surga oleh Rasulullah. Mu’jam ini memuat kurang lebih 525.000 hadis.
b.  Al-Mu’jam al-Aswath
c.  Al-Mu’jam Al-Asghar, kedua Mu’jam yang belakangan ini menghimpun beberapa Hadis berdasarkan yang diperoleh dari syeiknya yang abjadi, hanya bentuknya yang membedakan antara keduanya. Jika Al-Mu’jam Al-Ausath tengah-tengah atau sedang, Al-Mu’jam Al-Asghar lebih sederhana. Kitab Mu’jam seperti kamus ialah penghimpunan hadis didasarkan pada nama musyyaikhnya atau negeri tempat tinggalnya atau kabilah secara abjadi.
2.  Shahih, artinya diantara metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis shahihayn (Bukhari dan Muslim)[10], yaitu sebagai berikut:
a.   Shahih Ibn Hibban al-Bas’ti (w. 354 H)
b.   Shahih Ibn Khuzaimah (w.311)
c.   Shahih Ibn Al-Sakan (w. 353 H)
d.  Al-Mustadrak ‘ala Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim al-Nasyabiri (w.405 H). kitab Mustadrak Artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhari Muslim dan menurutnya dan menurutnya telah memenuhi syarat keduanya.
3.   Sunan, metode penulisannya sperti kitab sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum dan kualitasnya meliputi hadis-hadis shahih, hasan, dan dhaif, [11]yaitu sebagai berikut:
a.  Muntaqa Ibn Al-Jarud (w.307 H)
b.  Sunan Al-Daru Qutni (w. 385 H)
c.  Sunan Al-Baihaqi (w. 458 H), Al-Baihaqi memang wafatnya belakangan akan tetapi umumnya dimasukkan ke abad 4, karena metode penulisannya yang mirip pembukuan abad 4 H.
4.  Syarah, yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadis[12], misalnya:
a.  Syarh Ma’ani Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w.321 H)
b.  Syarh Musykil Al-Atsar, ditulis oleh Al-Thahawi (w. 321 H)
5. Mustakhraj, metode penulisan istikhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa hadits dari sebuah buku hadis seperti yang diterima gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri[13]. Misalnya Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili ‘ala shahih al-Bukhari (w. 371 H)
6.  Gabungan beberapa buku Hadis, yaitu sebagai berikut:
a. Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibn Al-Furat
b. Gabungan dua kitab shahih “al-Jam’u al-Bayn al-Shahihayn” yang ditulis oleh Al-Husin bin Mas’ud Al-Baghawi (w. 516 H).
c. Gabungan lima kitab “al-Tajrid li al-Shahih wa al-Sunan” yaitu gabungan Shahihayn, muwaththa, dan kitab-kitab sunan selain Ibn Majah, yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Razin bin Muawiyah Al-Sirqisthi. (W. 535 H).
d. Gabungan enam kitab, “jami’Al-Ushul li Ahadits al-Rasul” yang ditulis oleh Ibn Atsir Al-Jazari” (w.606 H).
Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi pada masa dinasti ’Abbasiyah angkatan ke dua yaitu pada masa kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah[14].
Pada periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi tidak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H hadis-hadis telah terkodifikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah disusun olehmutaqaddimin.
Para ulama hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan menyusun hadis dalam bentuk musannaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1.     Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan saanad dan matannya[15], ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah; Atraf al-Sahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti (w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H),  Atraf Kutub al-Sittahkarya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H), Atraf al-Ahadis al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H), Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H),Atraf al-Masanid al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2.      Kitab Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda[16]. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij alhadis al-Baagawi  karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij alhadis al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3.       Kitab al-Mustadrak adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya[17], dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni (w. 385 H).
4.      Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitab yang telah adalah, diantara kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk seperti ini adalah Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim[18].
1.   Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2.   Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-Humaidi (w. 488 H)
3.   Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
Ø  Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari Kutub al-Tis’ah:
1.   Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan oleh Ibnu al-Asir al- Jazairi pada kitab yang diberi judul”al-Jami’u al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2.   Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
Ø  Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1.   Masabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al-Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih”
2.  Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w. 579 H),    kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-Tabari.
3.   Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).

C. Penelitian hadis periode kontemporer
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut:
1.         Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalahIrwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2.          Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtas\ar Sahih al-Bukhari dan Mukhtasar Sahih Muslim.
3.         Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4.         Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
a.   Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah sanad.
b.    Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah, maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-Hadis.
c.   Program Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh para ulama baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.
























PENUTUP
A.    Kesimpulan
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian Hadis sampai pada abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang Hadis, kecuali hanya membaca, memahami, Takhrij, dan memberikan syarah Hadis-Hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan, bahwa merekalah ilama’ yang mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara  seluruh umat, karna memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara shahih dan dho’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudu’.

B.     Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.






DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri. 2009. Studi Hadts. Cet I. Surabaya: Sinar Terang.
Khon, Abd Majid. 2010. Ulumul Hadits. Cet IV. Jakarta: Amzah.
Solahudin, Agus. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.




[1] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, cet IV. Jakarta: Amzah. 2010. Hal. 58.
[2] Damanhuri, studi hadits, cet I, Surabaya: sinar terang,2009. Hal.67
[3] Damanhuri, op. cit, hal 68.
[4] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, cet IV. Jakarta: Amzah. 2010. Hal. 48.
[5] Damanhuri, op. cit, hal. 76.
[6] Agus Solahudin, Ulumul Hadits, cet I, Bandung: pustaka setia, 2008. Hal. 62 Agus Solahudin, op., cit, hal 62.
[7] Agus Solahudin, op. cit, hal 62.
[8] Abdul Majid khon,op. cit, Hal. 58.
[9]Agus Solahudin, op. cit, hal 65.
[10] Abdul Majid khon, op. cit, hal 60.
[11] Abdul Majid khon, op. cit, hal 60.
[12] Abdul Majid khon, op. cit, hal. 60
[13] Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[14] Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[15]Agus Solahudin, op. cit, hal 68.
[16] Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[17] Abdul Majid khon, op. cit, hal.60
[18] Abdul Majid khon, op. cit, hal.60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar