Senin, 18 April 2016

OPTIMALISASI PENDIDIKAN KELUARGA SEBAGAI INSTITUSI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH









BAB I
PENDAHULUAN
I.                  Latar belakang
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan.
Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal ataupun non formal sekalipun. Tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga bagi perkembangan anak-anak manusia yang pribadi dan berguna bagi masyarakat.
Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas atau di telaah beberapa hadits yang menerangkan tentang pendidikan keluarga yakni pendidikan yang paling optimal dalam pendidikan luar sekolah.
II.               Rumusan masalah
A.    Apa hadits yang menerangkan tentang pendidikan keluarga ?
B.     apa itu arti pengertian keluarga serta perananya dalam pendidikan?
C.     Bagaimana cara mengoptimalkan pendidikan keluarga sebagai institusi pendidikan luar sekolah?
III.           Tujuan masalah
Ø  Supaya memahami makna hadits yang menerangkan tentang pendidikan keluarga.
Ø  Agar mengetahui makna keluaga dan pendidikan.
Ø  Mengetahui langkah – langkah proses mengoptimalkan pendidikan keluarga di dalam pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Hadits pengaruh lingkungan keluarga
حدثني أبو الطاهر وأحمد بن عيسى قالا حدثنا ابن وهب أخبرني يونس بن يزيد عن ابن شهاب أن أبا سلمة بن عبدالرحمن أخبره أن أبا هريرة قال  : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما من مولود إلا يولد على الفطرة ثم يقول اقرؤا { فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم } [ 30 / الروم / 30 ][[1]]
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir dan Ahmad bin 'Isa mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami lbnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab bahwasanya Abu Salamah bin 'Abdurrahman mengabarkan kepadanya bahwasanya Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Lalu dia berkata; Bacalah oleh kalian firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah agama yang lurus.' (QS. Ar Ruum (30): 30). (Riwayat Imam Muslim)

            Kata fitrah berasal dari bahasa arab yang kemudian sudah menjadi bahasa komunitas indonesia atau bahasa indonesia “jadian” (kata serapan), misalnya ; mengangkat fitrah manusia. namun tetap harus dipelihara maknanya menurut asal kelahirannya secara fitrah, karena ia mengandung makna yang relegius. karena fitrah bukan saja bawaan sejak lahir seperti naluri dan jati diri seseorang, akan tetapi sangat berkaitan dengan esensi dan rahasia fitrah itu sendiri yang masih di pandang semu oleh sebagian orang.
            Secara etimologi fitrah bisa diartikan ciptaan awal, asal kejadian, insting, dan bawaan sejak lahir, baik berbentuk fisik, psikis, rohani atau sifat, dan norma, baik pada makhluk manusia atau yang lain[[2]]. sedangkan arti fitrah pada hadits tersebut adalah karakter yang diciptakan Allah untuk manusia dan harus dilakukan. atau diartikan sunnah (tradisi) dari dahulu yang dipilih para nabi dan sesuai dengan syariat[[3]].
            Dari pengertian diatas sudah pasti banyak pendapat para ulama dan ilmuan yanga berbeda – beda akan tetapi kita harus menarik kesamaan dari pengertian – pengertian yang ada diatas yakni : fitrah adalah sifat bawaan manusia dari awal penciptaanya.
            Akan tetapi hadits di atas hanya menjelaskan sesungguhnya setiap anak bayi yang dilahirkan ke dunia ini berstatus fitrah yakni suci, lalu bagaiamana kelanjutannya setelah ia lahir ke muka bumi ini, bahkan dalam keterangan ayat yang ada dalam hadits tersebut menyatakan bahwa “Tidak ada perubahan atas fitrah Allah” iya benar kalau semua bayi yang lahir itu suci atau dalam keadaan fitrah, tetapi bagaimana dengan orang yang beragama selain islam, apakah fitrah meraka berubah? dan jika berubah siapa yang merubahnya? ..  nah dibawah ini hadits yang menerangkan beberapa persoalan diatas sekaligus untuk memperkuat hadits diatas:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ يُصَلَّى عَلَى كُلِّ مَوْلُودٍ مُتَوَفًّى وَإِنْ كَانَ لِغَيَّةٍ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ يَدَّعِي أَبَوَاهُ الْإِسْلَامَ أَوْ أَبُوهُ خَاصَّةً وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ عَلَى غَيْرِ الْإِسْلَامِ إِذَا اسْتَهَلَّ صَارِخًا صُلِّيَ عَلَيْهِ وَلَا يُصَلَّى عَلَى مَنْ لَا يَسْتَهِلُّ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ سِقْطٌ فَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَيُحَدِّثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
الْآيَةَ (رواه بخاري) { فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا }

Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib berkata, Ibnu Syihab: "Setiap anak yang wafat wajib dishalatkan sekalipun anak hasil zina karena dia dilahirkan dalam keadaan fithrah Islam, jika kedua orangnya mengaku beragama Islam atau hanya bapaknya yang mengaku beragama Islam meskipun ibunya tidak beragama Islam selama anak itu ketika dilahirkan mengeluarkan suara (menangis) dan tidak dishalatkan bila ketika dilahirkan anak itu tidak sempat mengeluarkan suara (menangis) karena dianggap keguguran sebelum sempurna, berdasarkan perkataan Abu Hurairah radliallahu 'anhu yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak ada seorang anakpun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?". Kemudian Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, (mengutip firman Allah QS Ar-Ruum: 30 yang artinya: ('Sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu"). (riwayat imam Bukhori)[[4]].

      Hadits diatas memperjelas hadits sebelumnya yang hanya menyatakan bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke bumi itu dalam keadaan fitrah, namun tidak ada penjelasan menegenai perubahan seorang anak nanti, Nah di hadits yang kedua ini lebih dijelaskan lagi apa yang menyebabkan seorang anak itu tidak fitrah lagi, atau bukan pada jalan yang sudah digariskan (ditentukan) Allah. yang menyebabkan itu terjadi yakni pengaruh keluarganya bisa dikatakan orang tua nya, jika orang tauanya beragama islam maka anaknya pun akan beragam islam dan beriman kepada Allah dan Rosulnya, dan sebaliknya jika orang tuanya beragama atau berkeyakinan selain islam maka anaknya pula seperti itu.
    Dalam bukunya pak Abu Ahmadi ini disebut dengan faktor eksogen, faktor eksogen bisa mempengaruhi faktor endogen, maksudnya faktor endogen merupakan faktor keturunan atau faktor pembawaan. oleh karena individu terjadi dari bertemunya ovum dari ibu dengan sperma dari ayah maka tidaklah mengherankan kalau faktor endogen yang dibawa oleh individu itu mempunyai sifat – sifat seperti orang tuanya. seperti pepatah indonesia yang menyatakan “ air si cucuran akhirnya jatuh ke pelimbahan juga” ini berarti bahwa keadaan atau sifat – sifat dari anak itu tidak meninggalkan sifat – sifat dari oarang tuanya. sedangkan faktor eksogen ialah merupakan faktor yang datang dari luar diri individu. misalnya faktor eksogen disini yakni lingkungan keluarga jika keluarganya dari lingkunagan baik maka insya Allah anak pun akan menjaadi baik dan sebaliknya.
        Kata abawah yang berarti kedua orangtua dalam hadits di atas tidak berarti menafikan pengaruh pihak lain. kenyataannya, masih banyak komponen lingkungan yang dapat mempengaruhinya seperti suami, istri, saudara, kakek, nenek, paman, bibi, dan pembantu rumah tangga. disebut kedua orangtua untuk mewakili lingkungan dapat dipahami karena dominasi peran dan pengaruh orangtua terhadap perkembangan anak[[5]].
        kedua hadits diatas memperkuat bahwa pengaruh orrang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian seorang dibandingkan dengan faktor – faktor pengaruh pendidikan yang lain. kedua orangtua mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam mendidik anaknya. misalnya dalam sebuah hadits dibawah ini dengan sangat tegas hadits dibawah ini sangat berpengaruh kepada kepribadian anak, yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ - يَعْنِى الْيَشْكُرِىَّ - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِى حَمْزَةَ - قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِىُّ الصَّيْرَفِىُّ - عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ».(رواه أبي داود) [6]
Artinya:
     Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya. (Riwayat Abu Dawud)

B.   Pengertian keluarga serta perannya dalam pendidikan

Keluarga secara etimologi terdiri dari perkataan “kawula” dan warga”. Yang berarti kawula adalah adalah abadi dan warga adalah anggota. Artinya kumpulan individu yang memiliki rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya.
 Keluarga adalah suatu Klompok sosial yang di tandai dengan tempat tinggal bersama, kerjasama, ekonomi, dan reproduksi.[[7]] Keluarga adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan, perkawinan, atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya sesuai dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumuskan dengan baik.[[8]]
 Dari definisi-definisi di atas dapa disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok yang terkandung dalam pengertian keluarga adalah:
1.     Hubungan keluarga dimulai dengan perkawinan atau dengan penetapan pertalian kekeluargaan
2.    Hubungan keluarga berada pada batas-batas persetujuan masyarakat
3.  Anggota keluarga dipersatukan oleh pertalian perkawinan, darah, dan adopsi sesuai dengan adat istiadat yang berlaku
4.    Anggota keluarga secara bersama pada suatu tempat tinggal

Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi.[[9]]
Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya. Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian anak.
Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga.Secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai :[[10]]
1.      Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya,
2.      Sumber Pemenuhan Kebutuhan, Baik Fisik Maupun Psikis,
3.      Sumber Kasih Sayang Dan Penerimaan
4.     Model Pola Perilaku Yang Tepat Bagi Anak Untuk Belajar Menjadi Anggota Masyarakat Yang Bak
5.      Pemberi Bimbingan Bagi Pengembangan Perilaku Yang Secara Sosial Dianggap Tepat
6.  Pembentuk Anak Dalam Memecahkan Masalah Yang Dihadapinya Dalam Rangka Menyesuaikan Dirinya Terhadap Kehidupan
7.  Pemberi Bimbingan Dalam Belajar Keterampilan Motorik, Verbal Dan Sosial Yang Dibutuhkan Untuk Penyesuaian Diri
8.    Stimulator Bagi Pengembangan Kemampuan Anak Untuk Mencapai Prestasi, Baik Di Sekolah Maupun Di Masyarakat
9.      Pembimbing Dalam Mengembangkan Aspirasi
10.Sumber Persahabatan/Teman Bermain Bagi Anak Sampai Cukup Usia Untuk Mendapatkan Teman Di Luar Rumah.

Peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain:
Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik
[[11]].
1.   Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi dan kreativitas akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi hak pilih
2.      Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti bersikap sopan secara lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua, mereka harus memperhatikan keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak.
3.      Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap.
4.      Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri dan lain sebagainya.

C.   Pengoptimalan pendidikan keluarga sebagai institusi luar sekolah
Menurut Fatah Yasin (2008), munculnya gejala pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dengan anak yang belum dewasa. Dari peristiwa itu lahirlah pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan moralitas dan cinta kasih. [[12]]
Proses pendidikan dalam keluarga secara primer tidak dilaksanakan secara pedagogis (berdasarkan teori pendidikan), melainkan hanya berupa pergaulan dan hubungan yang disengaja dan langsung maupun tidak langsung antara orang tua dengan anak.[[13]]
Selain itu pendidikan keluarga sebagai pendidikan yang tidak terorganisasi, tetapi pebdidikan yang “organis” berdasarkan spontanitas, intiusi, pembiasaan dan improvisasi”. Biarpun pendidikan keluarga mempunyai tujuan dan persoalan yang didasari, namun cara berprilakunya hanya menurut keadaan yang timbul.[[14]]
Keluarga merupakan cikal bakal dan akar bagi terbentuknya masyarakata dan peradaban. Keseimbangan dan kesinambungan proses pendidikan yang alami dikeluarga  menjadi landasan yang fundamental bagi anak dalam pengembangan kepribadiannya.[[15]]   
           jika kita telaah baik – baik dari hadits tarbawy diatas dan teori atau ungkapan – ungkapan yang dikatakan oleh pakar ilmu pendidikan tersebut bahwa pendidikan keluarga akan menajadi pendidikan yang paling optimal di luar sekolah, jika sebuah keluarga memahami arti pendidikan dan arti makna keluarga dalam hadits tersebut, yang initinya jika orang tua paham akan tugas – tugasnya di dalam keluarga itu sendiri maka akan menghasilkan keluarga yang cinta pendidikan  bahkan menjadi keluarga yang berpendidikan.
          Sebagai pelaksanaan Pasal 31 Ayat 2 dari UUD 1945, telah ditetapkan UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas (beserta peraturan pelaksanaannya) yang menata kembali pendidikan di indonesia, termasuk lingkungan pendidikan. Sisdiknas itu membedakan dua jalur pendidikan, yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur penndidikan luar sekolah[[16]]. jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar – mengajar yang berjenjang dan bersinambungan, mulai dari pendidikan prasekolah (TK), pendidikan dasar (SD dan SLTP), pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar – mengajar yang harus berjenjang dan bersinabungan, baik yang dilembakan maupun tidak, yang meliputi pendidikan keluarga, kursus, kelompok belajar dan sebagainya.  
         dari teks diatas bisa dipahami bahwa salah satu pendidikan luar sekolah yakni pendidikan keluarga, pendidikan keluarga dalam teks tersebut menjadi bagian pertama dari pendidkikan luar sekolah, karena keluarga lah yang paling paham dengan kondisi seorang anak, bahkan pada hadits diatas seorang yang lahir kemuka bumi ini akan menjadi baik jika disekitarnya baik dan seorang individu lahir dalam lingkungan yang buruk maka hasil pun sama akan menjadi individu yang tidak baik. oleh sebab itu Rasulullah telah mengajarkan kepada orang tua dalam mendidik anaknya yang baik dan terutama agar takut dan taat kepada perintah – perintah Allah SWT.
            jadi dapat disimpulkan bahwa keluaragalah pendidikan pertama bagi seorang individu bahkan dalam bukunya Prof. Dr. Umar Tirtarahardja yakni yang berjudul pengantar pendidikan[[17]] menyatakan bahwa keluarga termasuk dalam tripusat pendidikan yakni pusat dari pendidikan , secara tidak langsung berarti keluarga itu sangat mempengaruhi perubahan seorang individu.
          Bahkan bisa dikatakan tanggung jawab pendidikan seorang anak ada pada orang tua karena sebagaiman ada sebuah hadits yang menerangkan hal tersebut yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا عَامِرُ بْنُ صالِحِ بْنِ رُسْتُمَ الْمُزَنِىُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِى - قَالَ أَوِ ابْنِ سَعِيد ِ بْنِ الْعَاصِ - عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدَهُ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ . (رواه أحمد)[18]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku bapakku, telah menceritakan kepada kami Yazid ibn Harun, ia berkata telah mekhabarkan kepada kami ‘Amir ibn Shalih Ibn Rustum al-Muzni, telah menceritakan kepada kami Ayyub Ibn Musa Ibn ‘Amr Ibn Sa’id Ibn al-‘Ash, ia Berkata atau Ibn sa’id ibn al-‘Ash dari bapaknya dari kakeknya ia berkata, berkat Rasulullah : “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.”

Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).[[19]]
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).[[20]]
            Pada pernyataan diatas jelas para ulama seperti imam al-Ghazali dan al-Imam Ibnu al-Qayyim sangat tegas mengatakan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang sangat optimal dalam suatu pendidikan, khusunya pendidikan luar sekolah. bahkan dalam teks diatas tersebut terdapat ancaman – ancaman bagi orang tua yang mengabaikan anaknya, dalam tanda kurung tidak mengajarinya kepada hal – hal yang membawa kepada ketaqwaan.






BAB III
PENUTUP

Ø  KESIMPULAN
Secara etimologi fitrah bisa diartikan ciptaan awal, asal kejadian, insting, dan bawaan sejak lahir, baik berbentuk fisik, psikis, rohani atau sifat, dan norma, baik pada makhluk manusia atau yang lain. sedangkan arti fitrah pada hadits tersebut adalah karakter yang diciptakan Allah untuk manusia dan harus dilakukan. atau diartikan sunnah (tradisi) dari dahulu yang dipilih para nabi dan sesuai dengan syariat.
Menurut Fatah Yasin (2008), munculnya gejala pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan adanya pergaulan antara orang tua sebagai manusia dewasa dengan anak yang belum dewasa. Dari peristiwa itu lahirlah pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan moralitas dan cinta kasih
dan satu lagi pengoptimalisasikan pendidikan keluarga sebagai institusi pendidikan luar sekolah yakni akan terlaksana apabila sebuah keluarga memiliki tanggung jawab yang besar tehadap seorang anak sebagaiman hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad yang artinya:

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik”
           









DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmad. 1991. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, http://www.islamic-council.com.
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, http://www.islamic-council.com.
al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musnad Min H{adi>th Rasu>l Alla>h saw Wa Sunanihi Wa Ayya>mihi, Juz 5, .182.  http://www.al-islam.com.
Hamalik Oemar, 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar: Bandung. PT. Sinar Baru Algesindo.
Khon, Abdul Majid. 2012.  Hadis Tarbawi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Musljm Ibn al-Hajjaj, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musamma> S}ahi>h Muslim, Juz 4, 2047, http://www.al-islam.com.
Tirtarahardja, umar. pengantar pendidikan. jakarta: PT RINEKA CIPTA. 2005
Umar, Bukhari. Hadits Tarbawi pendidikan dalam perpektif hadits. Jakarta: AMZAH. 2012





[1] Musljm Ibn al-Hajjaj, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musamma> S}ahi>h Muslim, Juz 4, 2047, http://www.al-islam.com.
[2] Kamus besar bahasa indonesia
[3] Abdul majid khan, Hadts tarbawi (hadis – hadis pendidikan), (jakarta: kencana, 2012) hal. 235-236
[4] al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musnad Min H{adi>th Rasu>l Alla>h saw Wa Sunanihi Wa Ayya>mihi, Juz 5, .182.  http://www.al-islam.com.
[5] Bukhori umar, hadits tarbawi (pendidikan dalam perspektif hadir), (jakarta, Amzah, 2012) hal. 168-169)
[6] Abu< Da<wud,Sunan Abi< Da<wu<d, Juz 12, 323. , http://www.al-islam.com.
[7] Abu Ahmad, sosiologi pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hal. 58.
[8] Ibid, hal. 59.
[9] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 2000) hal. 102
[10] Oemar Hamalik, op.cit.,hal 120
[11]  Oemar Hamalik, op.cit.,hal 120
[12] Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: Uin press, 2008), hal. 206
[13] ibid.,207.
[14] ibid.,207.
[15] ibid.,207.
[16] Umar tirtarahardja, pengantar pendidikan , (jakarta: RINEKA CIPTA, 2005) hal. 164
[17] ibid, hal., 166
[18] Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 32, 346,   http://www.al-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar