BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Manusia
dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh lingkungan akan
turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya lingkungan
akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. bayi yang baru
lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai
kemampuan yang bersifat bawaan.
Disini
mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana
untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai
hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal ataupun non formal sekalipun.
Tidak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pendidikan dalam lingkungan
keluarga bagi perkembangan anak-anak manusia yang pribadi dan berguna bagi
masyarakat.
Terlebih
sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus
ditempuh oleh semua umat. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas atau
di telaah beberapa hadits yang menerangkan tentang pendidikan keluarga yakni
pendidikan yang paling optimal dalam pendidikan luar sekolah.
II.
Rumusan masalah
A.
Apa hadits yang menerangkan tentang pendidikan
keluarga ?
B.
apa itu arti pengertian keluarga
serta perananya dalam pendidikan?
C.
Bagaimana cara mengoptimalkan pendidikan
keluarga sebagai institusi pendidikan luar sekolah?
III.
Tujuan masalah
Ø Supaya memahami
makna hadits yang menerangkan tentang pendidikan keluarga.
Ø Agar mengetahui
makna keluaga dan pendidikan.
Ø Mengetahui
langkah – langkah proses mengoptimalkan pendidikan keluarga di dalam
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits pengaruh lingkungan keluarga
حدثني
أبو الطاهر وأحمد بن عيسى قالا حدثنا ابن وهب أخبرني يونس بن يزيد عن ابن شهاب أن
أبا سلمة بن عبدالرحمن أخبره أن أبا هريرة قال
: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما من مولود إلا يولد على الفطرة ثم يقول اقرؤا { فطرة الله
التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم } [ 30 / الروم / 30 ][[1]]
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir dan
Ahmad bin 'Isa mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami lbnu Wahb
telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab bahwasanya Abu
Salamah bin 'Abdurrahman mengabarkan kepadanya bahwasanya Abu Hurairah berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Seorang bayi tidak dilahirkan
(ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Lalu dia berkata;
Bacalah oleh kalian firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas
fitrah Allah itulah agama yang lurus.' (QS. Ar Ruum (30): 30). (Riwayat Imam
Muslim)
Kata fitrah berasal dari bahasa arab
yang kemudian sudah menjadi bahasa komunitas indonesia atau bahasa indonesia
“jadian” (kata serapan), misalnya ; mengangkat fitrah manusia. namun tetap
harus dipelihara maknanya menurut asal kelahirannya secara fitrah, karena ia
mengandung makna yang relegius. karena fitrah bukan saja bawaan sejak lahir
seperti naluri dan jati diri seseorang, akan tetapi sangat berkaitan dengan
esensi dan rahasia fitrah itu sendiri yang masih di pandang semu oleh sebagian
orang.
Secara etimologi fitrah bisa diartikan
ciptaan awal, asal kejadian, insting, dan bawaan sejak lahir, baik berbentuk
fisik, psikis, rohani atau sifat, dan norma, baik pada makhluk manusia atau
yang lain[[2]].
sedangkan arti fitrah pada hadits tersebut adalah karakter yang diciptakan
Allah untuk manusia dan harus dilakukan. atau diartikan sunnah (tradisi) dari
dahulu yang dipilih para nabi dan sesuai dengan syariat[[3]].
Dari pengertian diatas sudah pasti
banyak pendapat para ulama dan ilmuan yanga berbeda – beda akan tetapi kita
harus menarik kesamaan dari pengertian – pengertian yang ada diatas yakni :
fitrah adalah sifat bawaan manusia dari awal penciptaanya.
Akan tetapi hadits di atas hanya
menjelaskan sesungguhnya setiap anak bayi yang dilahirkan ke dunia ini
berstatus fitrah yakni suci, lalu bagaiamana kelanjutannya setelah ia lahir ke
muka bumi ini, bahkan dalam keterangan ayat yang ada dalam hadits tersebut
menyatakan bahwa “Tidak ada perubahan atas fitrah Allah” iya benar kalau semua
bayi yang lahir itu suci atau dalam keadaan fitrah, tetapi bagaimana dengan
orang yang beragama selain islam, apakah fitrah meraka berubah? dan jika
berubah siapa yang merubahnya? .. nah
dibawah ini hadits yang menerangkan beberapa persoalan diatas sekaligus untuk
memperkuat hadits diatas:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ يُصَلَّى عَلَى كُلِّ مَوْلُودٍ
مُتَوَفًّى وَإِنْ كَانَ لِغَيَّةٍ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ
يَدَّعِي أَبَوَاهُ الْإِسْلَامَ أَوْ أَبُوهُ خَاصَّةً وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ عَلَى
غَيْرِ الْإِسْلَامِ إِذَا اسْتَهَلَّ صَارِخًا صُلِّيَ عَلَيْهِ وَلَا يُصَلَّى عَلَى
مَنْ لَا يَسْتَهِلُّ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ سِقْطٌ فَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ كَانَيُحَدِّثُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ
عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
الْآيَةَ
(رواه بخاري) { فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا }
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman
telah mengabarkan kepada kami Syu'aib berkata, Ibnu Syihab: "Setiap anak
yang wafat wajib dishalatkan sekalipun anak hasil zina karena dia dilahirkan
dalam keadaan fithrah Islam, jika kedua orangnya mengaku beragama Islam atau
hanya bapaknya yang mengaku beragama Islam meskipun ibunya tidak beragama Islam
selama anak itu ketika dilahirkan mengeluarkan suara (menangis) dan tidak
dishalatkan bila ketika dilahirkan anak itu tidak sempat mengeluarkan suara
(menangis) karena dianggap keguguran sebelum sempurna, berdasarkan perkataan
Abu Hurairah radliallahu 'anhu yang menceritakan bahwa Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak ada seorang anakpun yang
terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua
orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau
Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna.
Apakah kalian melihat ada cacat padanya?". Kemudian Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata, (mengutip firman Allah QS Ar-Ruum: 30 yang artinya:
('Sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu").
(riwayat imam Bukhori)[[4]].
Hadits diatas memperjelas hadits
sebelumnya yang hanya menyatakan bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke bumi itu
dalam keadaan fitrah, namun tidak ada penjelasan menegenai perubahan seorang
anak nanti, Nah di hadits yang kedua ini lebih dijelaskan lagi apa yang
menyebabkan seorang anak itu tidak fitrah lagi, atau bukan pada jalan yang
sudah digariskan (ditentukan) Allah. yang menyebabkan itu terjadi yakni
pengaruh keluarganya bisa dikatakan orang tua nya, jika orang tauanya beragama
islam maka anaknya pun akan beragam islam dan beriman kepada Allah dan
Rosulnya, dan sebaliknya jika orang tuanya beragama atau berkeyakinan selain
islam maka anaknya pula seperti itu.
Dalam bukunya pak Abu Ahmadi ini
disebut dengan faktor eksogen, faktor eksogen bisa mempengaruhi faktor endogen,
maksudnya faktor endogen merupakan faktor keturunan atau faktor pembawaan. oleh
karena individu terjadi dari bertemunya ovum dari ibu dengan sperma dari ayah
maka tidaklah mengherankan kalau faktor endogen yang dibawa oleh individu itu mempunyai
sifat – sifat seperti orang tuanya. seperti pepatah indonesia yang menyatakan “
air si cucuran akhirnya jatuh ke pelimbahan juga” ini berarti bahwa keadaan
atau sifat – sifat dari anak itu tidak meninggalkan sifat – sifat dari oarang
tuanya. sedangkan faktor eksogen ialah merupakan faktor yang datang dari luar
diri individu. misalnya faktor eksogen disini yakni lingkungan keluarga jika
keluarganya dari lingkunagan baik maka insya Allah anak pun akan menjaadi baik
dan sebaliknya.
Kata
abawah yang berarti kedua orangtua dalam hadits di atas tidak berarti menafikan
pengaruh pihak lain. kenyataannya, masih banyak komponen lingkungan yang dapat
mempengaruhinya seperti suami, istri, saudara, kakek, nenek, paman, bibi, dan pembantu
rumah tangga. disebut kedua orangtua untuk mewakili lingkungan dapat dipahami
karena dominasi peran dan pengaruh orangtua terhadap perkembangan anak[[5]].
kedua hadits diatas memperkuat bahwa
pengaruh orrang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian seorang
dibandingkan dengan faktor – faktor pengaruh pendidikan yang lain. kedua
orangtua mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam mendidik anaknya.
misalnya dalam sebuah hadits dibawah ini dengan sangat tegas hadits dibawah ini
sangat berpengaruh kepada kepribadian anak, yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ - يَعْنِى الْيَشْكُرِىَّ -
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ سَوَّارٍ أَبِى حَمْزَةَ - قَالَ أَبُو دَاوُدَ
وَهُوَ سَوَّارُ بْنُ دَاوُدَ أَبُو حَمْزَةَ الْمُزَنِىُّ الصَّيْرَفِىُّ - عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ
أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ ».(رواه أبي
داود) [6]
Artinya:
Telah
menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah menceritakan
kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud; Dia adalah Sawwar
bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya
dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah
mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka
pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat
tidurnya. (Riwayat Abu Dawud)
B.
Pengertian
keluarga serta perannya
dalam pendidikan
Keluarga secara etimologi terdiri dari perkataan “kawula” dan warga”. Yang berarti kawula adalah adalah abadi dan warga adalah anggota. Artinya kumpulan individu yang memiliki rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya.
Keluarga adalah
suatu Klompok sosial
yang di tandai dengan tempat tinggal bersama, kerjasama, ekonomi, dan reproduksi.[[7]] Keluarga
adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan,
perkawinan, atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya sesuai
dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumuskan dengan baik.[[8]]
Dari definisi-definisi di atas dapa
disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok yang terkandung dalam pengertian keluarga adalah:
1. Hubungan keluarga dimulai dengan
perkawinan atau dengan penetapan pertalian kekeluargaan
2. Hubungan keluarga berada pada batas-batas
persetujuan masyarakat
3. Anggota keluarga dipersatukan oleh
pertalian perkawinan, darah, dan adopsi sesuai dengan adat istiadat yang
berlaku
4. Anggota keluarga secara bersama pada
suatu tempat tinggal
Keluarga merupakan bagian dari sebuah
masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab,
ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan
pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak
sangat besar dalam berbagai macam sisi.[[9]]
Keluargalah yang menyiapkan potensi
pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak
tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya.
Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian
anak.
Fungsi dasar keluarga adalah
memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan
yang baik di antara anggota keluarga.Secara psikososiologis keluarga berfungsi
sebagai :[[10]]
1. Pemberi rasa aman bagi anak dan
anggota keluarga lainnya,
2. Sumber Pemenuhan Kebutuhan, Baik
Fisik Maupun Psikis,
3. Sumber Kasih Sayang Dan Penerimaan
4. Model Pola Perilaku Yang Tepat Bagi
Anak Untuk Belajar Menjadi Anggota Masyarakat Yang Bak
5. Pemberi Bimbingan Bagi Pengembangan
Perilaku Yang Secara Sosial Dianggap Tepat
6. Pembentuk Anak Dalam Memecahkan
Masalah Yang Dihadapinya Dalam Rangka Menyesuaikan Dirinya Terhadap Kehidupan
7. Pemberi Bimbingan Dalam Belajar
Keterampilan Motorik, Verbal Dan Sosial Yang Dibutuhkan Untuk Penyesuaian Diri
8. Stimulator Bagi Pengembangan
Kemampuan Anak Untuk Mencapai Prestasi, Baik Di Sekolah Maupun Di Masyarakat
9. Pembimbing Dalam Mengembangkan
Aspirasi
10.Sumber Persahabatan/Teman Bermain
Bagi Anak Sampai Cukup Usia Untuk Mendapatkan Teman Di Luar Rumah.
Peran kedua orang tua dalam
mewujudkan kepribadian anak antara lain:
Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik[[11]].
Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik[[11]].
1. Kedua orang tua harus menjaga
ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak. Karena
hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi dan kreativitas akal anak-anak
yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka menjadi kuat dan hendaknya
mereka diberi hak pilih
2. Saling menghormati antara kedua
orang tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti bersikap sopan secara
lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua, mereka harus memperhatikan
keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak.
3. Mewujudkan kepercayaan. Menghargai
dan memberikan kepercayaan terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan
dan kelayakan terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan
berusaha serta berani dalam bersikap.
4. Mengadakan perkumpulan dan rapat
keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan melihat keingintahuan fitrah dan
kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri dan lain
sebagainya.
C.
Pengoptimalan
pendidikan keluarga sebagai institusi luar sekolah
Menurut Fatah Yasin (2008),
munculnya gejala pendidikan dalam suatu keluarga disebabkan adanya pergaulan
antara orang tua sebagai manusia dewasa dengan anak yang belum dewasa. Dari
peristiwa itu lahirlah pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. Kehadiran
anak dalam keluarga merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua
terhadapnya, yang bersifat kodrati dan berdasarkan moralitas dan cinta kasih. [[12]]
Proses pendidikan dalam keluarga
secara primer tidak dilaksanakan secara pedagogis (berdasarkan teori
pendidikan), melainkan hanya berupa pergaulan dan hubungan yang disengaja dan
langsung maupun tidak langsung antara orang tua dengan anak.[[13]]
Selain itu pendidikan keluarga
sebagai pendidikan yang tidak terorganisasi, tetapi pebdidikan yang “organis”
berdasarkan spontanitas, intiusi, pembiasaan dan improvisasi”. Biarpun
pendidikan keluarga mempunyai tujuan dan persoalan yang didasari, namun cara
berprilakunya hanya menurut keadaan yang timbul.[[14]]
Keluarga merupakan cikal bakal dan akar bagi terbentuknya masyarakata dan peradaban. Keseimbangan dan kesinambungan proses pendidikan yang alami dikeluarga menjadi landasan yang fundamental bagi anak dalam pengembangan kepribadiannya.[[15]]
Keluarga merupakan cikal bakal dan akar bagi terbentuknya masyarakata dan peradaban. Keseimbangan dan kesinambungan proses pendidikan yang alami dikeluarga menjadi landasan yang fundamental bagi anak dalam pengembangan kepribadiannya.[[15]]
jika kita telaah baik – baik dari
hadits tarbawy diatas dan teori atau ungkapan – ungkapan yang dikatakan oleh
pakar ilmu pendidikan tersebut bahwa pendidikan keluarga akan menajadi
pendidikan yang paling optimal di luar sekolah, jika sebuah keluarga memahami
arti pendidikan dan arti makna keluarga dalam hadits tersebut, yang initinya
jika orang tua paham akan tugas – tugasnya di dalam keluarga itu sendiri maka
akan menghasilkan keluarga yang cinta pendidikan bahkan menjadi keluarga yang berpendidikan.
Sebagai pelaksanaan Pasal 31 Ayat 2
dari UUD 1945, telah ditetapkan UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas
(beserta peraturan pelaksanaannya) yang menata kembali pendidikan di indonesia,
termasuk lingkungan pendidikan. Sisdiknas itu membedakan dua jalur pendidikan,
yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur penndidikan luar sekolah[[16]].
jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah
melalui kegiatan belajar – mengajar yang berjenjang dan bersinambungan, mulai
dari pendidikan prasekolah (TK), pendidikan dasar (SD dan SLTP), pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. sedangkan jalur pendidikan luar sekolah
merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan
belajar – mengajar yang harus berjenjang dan bersinabungan, baik yang
dilembakan maupun tidak, yang meliputi pendidikan keluarga, kursus, kelompok
belajar dan sebagainya.
dari teks diatas bisa dipahami bahwa
salah satu pendidikan luar sekolah yakni pendidikan keluarga, pendidikan
keluarga dalam teks tersebut menjadi bagian pertama dari pendidkikan luar
sekolah, karena keluarga lah yang paling paham dengan kondisi seorang anak,
bahkan pada hadits diatas seorang yang lahir kemuka bumi ini akan menjadi baik
jika disekitarnya baik dan seorang individu lahir dalam lingkungan yang buruk
maka hasil pun sama akan menjadi individu yang tidak baik. oleh sebab itu
Rasulullah telah mengajarkan kepada orang tua dalam mendidik anaknya yang baik
dan terutama agar takut dan taat kepada perintah – perintah Allah SWT.
jadi dapat disimpulkan bahwa
keluaragalah pendidikan pertama bagi seorang individu bahkan dalam bukunya
Prof. Dr. Umar Tirtarahardja yakni yang berjudul pengantar pendidikan[[17]]
menyatakan bahwa keluarga termasuk dalam tripusat pendidikan yakni pusat dari
pendidikan , secara tidak langsung berarti keluarga itu sangat mempengaruhi
perubahan seorang individu.
Bahkan bisa dikatakan tanggung jawab
pendidikan seorang anak ada pada orang tua karena sebagaiman ada sebuah hadits
yang menerangkan hal tersebut yakni sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا عَامِرُ بْنُ صالِحِ بْنِ رُسْتُمَ الْمُزَنِىُّ
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِى -
قَالَ أَوِ ابْنِ سَعِيد ِ بْنِ الْعَاصِ - عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدَهُ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ . (رواه أحمد)[18]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku
bapakku, telah menceritakan kepada kami Yazid ibn Harun, ia berkata telah
mekhabarkan kepada kami ‘Amir ibn Shalih Ibn Rustum al-Muzni, telah
menceritakan kepada kami Ayyub Ibn Musa Ibn ‘Amr Ibn Sa’id Ibn al-‘Ash, ia
Berkata atau Ibn sa’id ibn al-‘Ash dari bapaknya dari kakeknya ia berkata,
berkat Rasulullah : “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua
kepada anaknya selain pendidikan yang baik.”
Mengenai
tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu
al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui
bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling
penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak
merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih
merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan
diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan
padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia
akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat.
Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya
yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala
atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan
keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi
orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh
orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).[[19]]
Senada dengan
ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa
saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya,
lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang
fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan
mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua
yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak
berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada
orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah,
engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku
besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika
engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).[[20]]
Pada pernyataan diatas jelas para ulama seperti imam al-Ghazali dan al-Imam
Ibnu al-Qayyim sangat tegas mengatakan bahwa pendidikan keluarga adalah
pendidikan yang sangat optimal dalam suatu pendidikan, khusunya pendidikan luar
sekolah. bahkan dalam teks diatas tersebut terdapat ancaman – ancaman bagi
orang tua yang mengabaikan anaknya, dalam tanda kurung tidak mengajarinya
kepada hal – hal yang membawa kepada ketaqwaan.
BAB III
PENUTUP
Ø
KESIMPULAN
Secara etimologi fitrah bisa diartikan ciptaan
awal, asal kejadian, insting, dan bawaan sejak lahir, baik berbentuk fisik,
psikis, rohani atau sifat, dan norma, baik pada makhluk manusia atau yang lain.
sedangkan arti fitrah pada hadits tersebut adalah karakter yang diciptakan
Allah untuk manusia dan harus dilakukan. atau diartikan sunnah (tradisi) dari
dahulu yang dipilih para nabi dan sesuai dengan syariat.
Menurut Fatah Yasin (2008), munculnya gejala pendidikan
dalam suatu keluarga disebabkan adanya pergaulan antara orang tua sebagai
manusia dewasa dengan anak yang belum dewasa. Dari peristiwa itu lahirlah
pendidikan dalam sebuah wadah yakni keluarga. Kehadiran anak dalam keluarga
merupakan tanggung jawab dan pengabdian orang tua terhadapnya, yang bersifat
kodrati dan berdasarkan moralitas dan cinta kasih
dan satu lagi
pengoptimalisasikan pendidikan keluarga sebagai institusi pendidikan luar
sekolah yakni akan terlaksana apabila sebuah keluarga memiliki tanggung jawab
yang besar tehadap seorang anak sebagaiman hadits yang diriwayatkan oleh imam
ahmad yang artinya:
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua
kepada anaknya selain pendidikan yang baik”
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmad. 1991. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
al-Bukha>ri>,
al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musnad Min H{adi>th Rasu>l Alla>h saw Wa
Sunanihi Wa Ayya>mihi, Juz 5, .182. http://www.al-islam.com.
Hamalik Oemar, 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar:
Bandung. PT. Sinar Baru Algesindo.
http://haditstarbawielghazy.blogspot.co.id/2015/09/pendidikan-keluarga.html, diakses tgl 21/03/2016. pada pukul 15.00 WIB
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Musljm Ibn
al-Hajjaj, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musamma> S}ahi>h Muslim,
Juz 4, 2047, http://www.al-islam.com.
Tirtarahardja, umar. pengantar pendidikan. jakarta:
PT RINEKA CIPTA. 2005
Umar, Bukhari. Hadits Tarbawi pendidikan
dalam perpektif hadits. Jakarta: AMZAH. 2012
[1]
Musljm Ibn al-Hajjaj, al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musamma>
S}ahi>h Muslim, Juz 4, 2047, http://www.al-islam.com.
[2]
Kamus besar bahasa indonesia
[3]
Abdul majid khan, Hadts tarbawi
(hadis – hadis pendidikan), (jakarta: kencana, 2012) hal. 235-236
[4]
al-Bukha>ri>,
al-Ja>mi’ al-S}ahi>h al-Musnad Min H{adi>th Rasu>l Alla>h saw Wa
Sunanihi Wa Ayya>mihi, Juz 5, .182. http://www.al-islam.com.
[5]
Bukhori umar, hadits tarbawi
(pendidikan dalam perspektif hadir), (jakarta, Amzah, 2012) hal. 168-169)
[8]
Ibid, hal. 59.
[9]
Oemar Hamalik, Psikologi
Belajar dan Mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 2000) hal. 102
[16]
Umar tirtarahardja, pengantar
pendidikan , (jakarta: RINEKA CIPTA, 2005) hal. 164
[17]
ibid, hal., 166
[19] http://haditstarbawielghazy.blogspot.co.id/2015/09/pendidikan-keluarga.html, diakses tgl 21/03/2016. pada pukul 15.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar