PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Satu pertanyaan yang
seringkali muncul dikalangan umat islam terutama di Indonesia adalah, mengapa
sering terjadi perbedaan awal ramadhan, dan hari raya, baik ‘idul adha maupun
‘idul fitri? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan metode dalam dalam
penentuan awal bulan.
Selain Departemen Agama,
yang kini telah berubah menjadi Kementerian Agama dan Dua Ormas besar yakni NU
dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal bulan, terutama pada awal
bulan ramadhan dan jatuhnya idda’in (‘idul fitri dan ‘idul adha). Namun
keduanya memiliki metode yang berbeda dalam
melihat hilal sebagai penetapan awal bulan ramadhan dan dua idda’in. NU
menggunakan metode rukyah sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab namun
juga tidak meninggalkan rukyah.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
itu pengertian hilal, hisab, dan rukyah ?
B.
Bagaimana
proses NU dalam menentukan awal qomariyah terutama ramadhan dan dua Idda’in ?
C.
Bagaiman
proses Muhammadiyah dalam menentukan awal qomariyah terutama ramadhan dan dua
Idda’in ?
III.
TUJUAN MASALAH
1.
Mengetahui
pengertian hilal, hisab, dan rukyah.
2.
Mengetahui
metode dan dalil dari masing – masing Ormas yang bersangkutan.
3.
Supaya
bisa memahami dan menerima hasil ijtihad yang ada.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hilal, Hisab, dan Rukyah
Dalam menentukan awal bulan qomariyah
dibutuhkan sebuah metode dalam melihat hilal, diantara metode yang telah banyak
digunakan dikalangan umat islam yakni hisab dan rukyah. Sebelum membahas hisab
dan rukyat alangkah lebih baik nya kita membahas pengertian hilal terlebih
dahulu.
A1.
Hilal
Menurut Al-Ghazali, Ketua Pengurus
Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, Hilal dalam bahasa arab sepatah
kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam (
ه – ل- ل) , sama dengan terbentuknya kata fi’il- هلّ اهل. Hilal artinya bulan sabit yang tampaki
menurut, jadi menurut bahasa arab, hilal itu adalah bulan sabit yang Nampak
pada awal bulan[1].
A2.
Hisab
Hisab dalam bahasa arab berarti
“perhitungan” atau “hitungan” . tujuan hisab adalah memperkirakan kapan awal
suatu bulan qomariyah, terutama yang berhubungan dengan suatu ibadah. Yang
dihitung bermacam-macam. Hisab yang paling sederhana adalah memperkirakan
panjang bulan, apakah 29 atau 30 hari, dalam rangka menetukan awal bulan baru
qomariyah, tujuan lainnya adalah kapan terjadi ‘ijtima, sebagian ahli hisab
berpendapat, jika ‘ijtima terjadi sebelum matahari terbenam (‘ijtima qabla
al-ghurub), maka ia menandakan sudah masuk bulan baru. Ada pula hisab dengan
cara menghitung kehadiran (wujud) hilal diatas ufuk ketika matahari terbenam
(ghurub). Jika menurut perhitungan, hilal masih berada diatas ufuk ketika
matahari terbenam, maka dipastikan sudah masuk bulan baru, berapa pun ketinggian
hilal itu.Jadi hisab pun memiliki jenis-jenis, diantara jenis-jenis hilal
sebagai berikut[2];
1. Hisab
‘urfi
Hisab
‘urfi telah dipergunakan sejak zaman khalifah kedua, Umar bin Khatab ra. (tahun
17 H), dengan menyusun kalender islam untuk jangka waktu panjang. Hisab ini
dilakukan dengan cara merata-ratakan waktu edar bulan mengelilingi bumi.
2. Hisab
haqiqi (wujudul hilal)
Hisab
haqiqi hanya memperhitungkan wujud hilal diatas ufuk pandangan atau ufuk
sesungguhnya. Dasar anggapanya adalah, asalkan hilal ada diatas ufuk maka
keesokan harinya dapat dipastikan merupakan awal bulan baru. Seberapa tinggi
hilal berada diatas ufuk dan seberapa jauh arah pandanganya dari arah ke
matahari, tidak dipersoalkan. Jelaslah, hisab haqiqi masih kurang realitis.
3. Hisab
imkanu rukyat
Secara
harfiyah, hisab imkanu rukyat berarti “ perhitungan kemungkinan hilal terlihat
.” selain memperhitungkan wujudnya hilal diatas ufuk, pelaku hisab juga
memperhitungkan factor-faktor lain yang memungkinkan terlihatnya hilal.
A3.
Rukyah
Secara harfiyah, rukyah berarti “
melihat”. Arti yang paling umum adalah “ melihat dengan mata kepala” . jadi,
secara umum, rukyah dapat dikatakan sebagai “pengamat terhadap hilal”. Sesuai
dengan sunnah nabi, rukyah dilakukan dengan mata telanjang. Pengalaman rukyah
seperti ini sangat individual dan subjektif[3].
B. Nahdalatul Ulama
Dalam menentukan kepastian awal bulan
Qomariyah, khususnya awal bulan ramadhan dan dua ‘iddain, NU lebih mendasarkan
pada rukyah, bukan pada hisab,, sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama yang
dipegangi, demikian keterangan dalam situs resmi NU.Alasan NU dalam pengunaan
metode rukyah adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul
islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan
kesempurnanaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas
ta’aqquliy (penalaran)[4].
Sumber dalil yang sering dipakai oleh NU
untuk menentukan awal qomariyah khususnya awal ramadhan dan dua ‘iddain,
diantaranya hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh dua imam hadits besar
yakni imam bukhari dan muslim, sebagai berikut:
حدثنا
أبو بكربن أبي شيبة . حدثنا أبو أسامة. حدثنا عبيد الله عن نافع, عن ابن عمر رضي
الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ذكر رمضان . فضرب بيديه فقال :{الشهر
هكذاوهكذاوهكذا (ثم عقد إبهامة في الثالثة) فصوموا لرؤيته. وأفطروا لرؤيته. فإن
أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين}[5]
Hadits diatas ini yang sering dipakai dan di jadikan
sandaran bagi NU untuk memakai rukyat, bahkan hadits ini didalam kitab syarah
nawawi dan dalam kitab Bukhari memiliki teks yang sama. Oleh karena
demikian itu, Dalam menentukan awal bulan qomariyah NU memiliki empat
tahapan, empat tahapan ini
juga bersumber dari hadits lanjutan diatas, empat tahapan itu, sebagai berikut:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab.
Ilmu falak berkembang di kalangan
Nahdlatul Ulama sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren
dan madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu
lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan danpemanfaatannya.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan danpemanfaatannya.
Setiap menjelang awal tahun, Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanac atau kalender setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Hisab yang digunakan sebagai pemandu dan pendukung rukyah didasarkan pada metode rukyah yang tinggi akurasinya, terutama dari karya para ahli di kalangan NU, seperti antara lain: al-Khulashatul wafiyah karya KH Zubair Umar; Badi’atul Mitsal dan Durusul Falakiyah karya KH Ma’shum Ali; Nurul Anwar karya KH Noor Ahmad SS; Irsyadul Murid karya KH Ahmad Ghazali Muhammad Fathullah; Mawaqit karya Dr Ing H Khafid; dan Hisab dan Rukyah dalam Teori dan Praktik karya Drs H Muhyiddin, M Si. Metode-metode ini termasuk kelompok tingkat haqiqi tahqiqidan tadqiqi (kontemporer).
Selain hitungan hisab didasarkan pada metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga menerima haddu imkanir rukyah (kriteria visibilitas hilal). Kriteria imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan hasil rukyah, sedang secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum memungkinkan dirukyah. Tetapi hisab imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai sumber utama dalam menentukan penentuan awal bulan qamariyah.
Perhitungan hisab awal bulan qamariyah yang didasarkan pada metode haqiqi tahqiqi, tadqiqi/’ashri (kontemporer) dan kriteria imkanur rukyah, digunakan untuk memandu dan mendukung penyelenggaraan rukyatul hilal.
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat atau observasi
terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan
tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan
kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab atau ilmu astronomi.
Rukyat atau observasi adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat atau observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi. Tanpa ada rukyat atau observasi yang berkelanjutan, maka ilmu hisab akan mandeg/statis. Dengan demikian rukyat itu ilmiah.
Di satu sisi rukyat berfungsi mengoreksi hitungan hisab, dan di sisi lain ilmu hisab atau astronomi menjadi pemandu dan pendukung rukyat.
Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah. (Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas di rubrik Syari’ah)
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (saat ini ada 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i.
Rukyat atau observasi adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat atau observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi. Tanpa ada rukyat atau observasi yang berkelanjutan, maka ilmu hisab akan mandeg/statis. Dengan demikian rukyat itu ilmiah.
Di satu sisi rukyat berfungsi mengoreksi hitungan hisab, dan di sisi lain ilmu hisab atau astronomi menjadi pemandu dan pendukung rukyat.
Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah. (Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas di rubrik Syari’ah)
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (saat ini ada 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i.
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
Hasil
penyelenggaraan rukyatul hilal di lapangan dilaporkan kepada PBNU. Dari
laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan tentang
penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan dilaporkan lebih
dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam
di seluruh Indonesia.
Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW.
Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana yang telah tersebut dalam hadits.
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibn Hibban)
dalam Hadits ini menjelaskan dan menunjukkan :
> Tingginya semangat melaksanakan rukyat di kalangan para sahabat
> Para sahabat tidak memutuskan sendiri dan tidak mau mendahului Rasulullah SAW
> Itsbat sepenuhnya ada di tangan Rasulullah SAW. baik sebagai Rasul Allah, maupun sebagai kepala negara
> Itsbat Rasulullah SAW. berlaku bagi semua kaum Muslimin dan mengatasi perbedaan yang mungkin timbul di kalangan sahabat
Itsbat suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota BHR, wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat. Dalam kesempatan ini, NU melaporkan hasil penyelenggaraan rukyatul hilal dan perhitungan hisabnya sebagai bentuk partisipasi dalam rangka itsbat.
Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh NKRI tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. dan para sahabat.Ikhbar.
Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW.
Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana yang telah tersebut dalam hadits.
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibn Hibban)
dalam Hadits ini menjelaskan dan menunjukkan :
> Tingginya semangat melaksanakan rukyat di kalangan para sahabat
> Para sahabat tidak memutuskan sendiri dan tidak mau mendahului Rasulullah SAW
> Itsbat sepenuhnya ada di tangan Rasulullah SAW. baik sebagai Rasul Allah, maupun sebagai kepala negara
> Itsbat Rasulullah SAW. berlaku bagi semua kaum Muslimin dan mengatasi perbedaan yang mungkin timbul di kalangan sahabat
Itsbat suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota BHR, wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat. Dalam kesempatan ini, NU melaporkan hasil penyelenggaraan rukyatul hilal dan perhitungan hisabnya sebagai bentuk partisipasi dalam rangka itsbat.
Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh NKRI tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. dan para sahabat.Ikhbar.
4. Ikhbar (pemberitahuan)
Setelah dikeluarkan itsbat, maka Nahdlatul
Ulama mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan
Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul
hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur
rukyat.
Ikhbar akan mempunyai daya dukung terhadap itsbat, jika Menteri Agama RI memutuskan atas dasar dalil rajih. Sebaliknya ikhbar berfungsi sebagai kritik atas itsbat yang tidak didasarkan pada dalil rajih.
Ikhbar adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Dari paparan di depan, dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan memperhatikan 4 aspek, yaitu:
>Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
>Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentangdzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
>Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
>Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan
Ikhbar akan mempunyai daya dukung terhadap itsbat, jika Menteri Agama RI memutuskan atas dasar dalil rajih. Sebaliknya ikhbar berfungsi sebagai kritik atas itsbat yang tidak didasarkan pada dalil rajih.
Ikhbar adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.
Dari paparan di depan, dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan memperhatikan 4 aspek, yaitu:
>Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
>Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentangdzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
>Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
>Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan
C.
Muhammadiyah
Jika NU lebih
mengutamakan penggunaan rukyah dari pada hisab, maka Muhammadiyah cenderung
mengunakan hisab, meskipun tidak melupakan metode rukyah. Munir Mulkhan
menulis, bahwa Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyah. Namun demikian
berdasarkan iptek dan pola kehidupan masyarakat maka pelaksanaan rukyah
dilakukan dengan menggunakan hisab.
Dalam Muktamar
Muhammadiyah di Makassar tanggal 1-7 mei 1932, salah satu butir keputusannya:
“As-Shaumu wal fithru bir rukyati wala mani’a bil hisab” (“berpuasalah dan
berbukalah [berhari raya] dengan rukyah dan tidak ada halangan dengan hisab”). Sementara
itu dalam muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 tentang hisab dan rukyah
diambil kesimpulan bahwa[6]:
Ø Hisab
mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyah sebagai pendoman
penetapan awal bulan qomariyah terutama awal ramadhan dan dua ‘iddain.
Ø Hisab
sebagaimana tersebut pada poin pertama yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan
pengembangan pemikiran islam pimpinan pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki
dengan kriteria wujudul hilal.
Ø Matlak
yang digunakan adalah Matlak yang didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
Ø Apabila
garis batas wujudul hilal pada awal bulan qomariyah tersebut membelah wilayah
Indonesia maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada
kebijakan
Selain hal tersebut diatas tarjih dalam
HPT menjelaskan sebagaimana uraian berikut: Berpuasalah dan ‘dul fitri itu
dengan rukyah dan tidak berhalangan gengan hisab. Dalil- dalil yang digunakan
sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman
Allah yang artinya:
“Dialah
Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak, dia menjelaskan tanda-tanda (kebesarannya)
kepada orang-orang yang mengetahui”. (QS. Yunus:5)
Juga firman
Allah, yang artinya:
“Tidaklah
mungkin bsgi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (QS. Yaassin : 40)
“Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan”
(QS.
Ar-Rahman:5)
Juga
hadis yang artinya:
"Dari
Kuraib (diriwayatkan bahwa)
sesunggguhnya Ummu Fadhl
binti al-Harits mengutusnya
menemui Mu'awiyah di negeri Syam. Ia
berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan sementara saya berada di negeri Syam. Saya
melihat hilal pada malam hari Jum'at, selanjutnya saya kembali ke Madinah pada
akhir bulan Ramadaan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan
menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab
: Kami melihat hilal pada malam hari Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu
sendiri yang melihatnya ? maka Jawab Kuraib, benar, dan orang yang lain juga
melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu
Abdullah ibn Abbas
berkata: Tetapi kami
melihat hilal pada
malam hari Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa
hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya
(Kuraib) bertanya: Apakah
kamu (Abdullah bin
Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya
Mu'awiyah (di Syam)
dan puasanya. Abdullah
bin Abbas menjawab: Tidak,
demikianlah yang Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).
Selanjutnya, Tarjih
Muhammadiyah menyatakan apabila
Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan
tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal
kenyataannya ada orang yang melihat pada
mu‘tabar, maka Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu‟tabar.
Hal ini di dasarkan hadis
yang artinya: ―Menukil
hadis dari Abu Hurairah r.a.
yang berkata bahwa
Rasulullah bersabda:
“Berpuasalah
karena kamu melihat tanggal dan
berbukalah (berlebaranlah) karena
kamu melihat tanggal, bila
kamu tertutup oleh mendung,
maka sempunakanlah bilangan
bulan Sya‟ban 30
hari” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ismail
Thaib, dalam Majalah Suara Muhammadiyah
pernah menulis bahwa Putusan Muktamar
Muhammadiyah di Makassar sebagaimana disebutkan di muka, yakni “As-Shaumu wal
fithru bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab” (‖Berpuasa dan berbuka [berhari raya]
dengan rukyat dan
tidak ada halangan
dengan hisab‖) merupakan
putusan yang bijaksana.
Namun demikian, tidak
dipungkiri bahwa selama
ini Muhammadiyah cenderung mengedepankan metode hisab dari pada rukyat.
Ismail secara
rinci mencoba menjelaskan
kembali masalah hisab
sebagai metode yang
digunakan oleh Muhammadiyah dalam
penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya
Idul Fitri dan
Idul Adha, secara lebih mendalam dilihat
dari sudut pandang syariat
Islam. Menurutnya, perintah
Nabi Saw dalam
sabdanya yang artinya: ―Berpuasalah
kamu karena melihat
bulan dan berbukalah
(berhari raya) kamu karena
melihat bulan..‖ mesti ditafsirkan tidak
sempit. Bahwa perintah Nabi itu dan Hadits-hadits lain yang
semakna dengan itu masih
bersifat lepas (mutlak) belum dikaitkan
dengan illat. Oleh karenanya,
demikian Ismail, apabila
ada nash
(Hadits) lain yang
memautkan perintah itu
dengan suatu illat,
maka ketika itu persoalannya menjadi lain, menjadi
berbeda dan illat
itu ada pengaruhnya
dalam pemahaman Hadits tersebut
dan hukum berjalan
sesuai dengan illat
itu dalam penjabaran (tathbiq)
atau operasionalnya.
Penggunaan
metode hisab oleh
Muhammadiyah didasarkan pada
alasan, salah satunya adalah
Hadits Nabi sebagaimana
tersebut di atas,
bukanlah satu satunya hadits
dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits lain yang lebih jelas menjelaskan
illat-nya, yaitu hadits riwayat
Muslim dan lain-lainnya, di mana Nabi bersabda
yang artinya:
“Sesungguhnya
kita ummat yang ummi (buta aksara) tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung (hisab), bulan itu
begini dan begini”
Hadits di atas menurut Ismail, dianggap pokok dalam masalah hisab,
karena seakan-akan Rasulullah mengatakan
bahwa berpegang kepada
rukyat lantaran kebanyakan umat
Islam di masa beliau buta aksara, belum mengenal ilmu hisab.
Di dalam
sebuah buku tentang
Pedoman Hisab Muhammadiyah,
disebutkan bahwa dalam konteks ke-Indonesiaan penggunaan hisab
lebih memungkinkan dan lebih
praktis karena dapat
menentukan tanggal jauh
sebelumnya dan dapat menentukan masa
depan secara lebih
pasti, sehingga persiapan-persiapan dapat dilakukan secara
lebih tepat perhitungan
dan jauh sebelumnya.
Perhatian dan orientasi ke depan
adalah salah satu prinsip ajaran Islam dan sekaligus cermin sikap modern.
Selain
itu penggunaan hisab
ini juga mencerminkan
kepercayaan Muhammadiyah
kepada ilmu pengetahuan,
yang juga merupakan prinsip
ajaran Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
Sementara itu, bila garis batas wujudul
hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik
Indonesia yang "besarnya hampir
sama", maka Pimpinan
Pusat Muhammadiyah akan menggunakan
kriteria wujudul hilal
nasional dalam menentukan awal
bulan Qamariah, khususnya
awal Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah. Kriteria wujudul
hilal nasional merupakan
teori di mana
awal bulan Qamariah dimulai
apabila setelah terjadi
ijtimak (conjunction)
matahari tenggelam terlebih dahulu dibandingkan
bulan (moonset after sunset); pada saat itu posisi bulan di atas
ufuk di seluruh wilayah Indonesia. Artinya pada
saat matahari terbenam (sunset)
secara filosofis hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Namun
jika garis batas
wujudul hilal membelah
dua wilayah kesatuan Republik Indonesia
dan sebagian besar
sudah wujud maka
diberlakukan konsep matla‟
sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas Tarjih di Makassar.
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut Al-Ghazali, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul
Ulama, Hilal dalam bahasa arab sepatah kata isim yang terbentuk dari 3
huruf asal yaitu ha-lam-lam ( ه – ل- ل)
, sama dengan terbentuknya kata fi’il- هلّ اهل. Hilal artinya bulan sabit yang tampaki
menurut, jadi menurut bahasa arab, hilal itu adalah bulan sabit yang Nampak
pada awal bulan.
Hisab dalam bahasa arab berarti “perhitungan” atau “hitungan” . tujuan
hisab adalah memperkirakan kapan awal suatu bulan qomariyah, terutama yang
berhubungan dengan suatu ibadah.
Secara harfiyah, rukyahberarti “ melihat”. Arti yang paling umum adalah
“ melihat dengan mata kepala” . jadi, secara umum, rukyah dapat dikatakan
sebagai “pengamat terhadap hilal”. Sesuai dengan sunnah nabi, rukyah dilakukan
dengan mata telanjang. Pengalaman rukyah seperti ini sangat individual dan
subjektif.
Alasan NU dalam pengunaan metode rukyah adalah bahwa dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan ad-dinul islam, harus mendasarkan pada asas
ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnanaan ta’abbudiy tersebut
perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Munir Mulkhan menulis, bahwa Muhammadiyah tetap
menggunakan metode rukyah. Namun demikian berdasarkan iptek dan pola kehidupan
masyarakat maka pelaksanaan rukyah dilakukan dengan menggunakan hisab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al karim
IMAM ABI ZAKARIA
YAHYA BIN SYARIF AN-NAWAWI, SHAHIH MUSLIM
BISYARI AN-NAWAWI.AL-QOHIRAH.2001
BJ HABIBIE, rukyah dengan teknologi.GEMA INSANI PRESS, 1994
M. yusuf amin nugroho, fiqh al ikhtilafi NU Muhammadiyah, e-book
Semoga bermanfaaat,,,,,,
BalasHapusSemoga bermanfaaat,,,,,,
BalasHapus