Rabu, 09 Desember 2015

Perbedaan dalam menentukan awal bulan Qomariyah

PENDAHULUAN

I.            LATAR BELAKANG

     Satu pertanyaan yang seringkali muncul dikalangan umat islam terutama di Indonesia adalah, mengapa sering terjadi perbedaan awal ramadhan, dan hari raya, baik ‘idul adha maupun ‘idul fitri? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan metode dalam dalam penentuan awal bulan.
     Selain Departemen Agama, yang kini telah berubah menjadi Kementerian Agama dan Dua Ormas besar yakni NU dan Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal bulan, terutama pada awal bulan ramadhan dan jatuhnya idda’in (‘idul fitri dan ‘idul adha). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda dalam  melihat hilal sebagai penetapan awal bulan ramadhan dan dua idda’in. NU menggunakan metode rukyah sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab namun juga tidak meninggalkan rukyah.

II.               RUMUSAN MASALAH

A.    Apa itu pengertian hilal, hisab, dan rukyah ?
B.     Bagaimana proses NU dalam menentukan awal qomariyah terutama ramadhan dan dua Idda’in ?
C.     Bagaiman proses Muhammadiyah dalam menentukan awal qomariyah terutama ramadhan dan dua Idda’in ?

III.            TUJUAN MASALAH

1.      Mengetahui pengertian hilal, hisab, dan rukyah.
2.      Mengetahui metode dan dalil dari masing – masing Ormas yang bersangkutan.
3.       Supaya bisa memahami dan menerima hasil ijtihad yang ada.

PEMBAHASAN



A.    Pengertian Hilal, Hisab, dan Rukyah


     Dalam menentukan awal bulan qomariyah dibutuhkan sebuah metode dalam melihat hilal, diantara metode yang telah banyak digunakan dikalangan umat islam yakni hisab dan rukyah. Sebelum membahas hisab dan rukyat alangkah lebih baik nya kita membahas pengertian hilal terlebih dahulu.
A1. Hilal
     Menurut Al-Ghazali, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, Hilal dalam bahasa arab sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam ( ه – ل- ل) , sama dengan terbentuknya kata fi’il- هلّ اهل. Hilal artinya bulan sabit yang tampaki menurut, jadi menurut bahasa arab, hilal itu adalah bulan sabit yang Nampak pada awal bulan[1]
A2. Hisab
     Hisab dalam bahasa arab berarti “perhitungan” atau “hitungan” . tujuan hisab adalah memperkirakan kapan awal suatu bulan qomariyah, terutama yang berhubungan dengan suatu ibadah. Yang dihitung bermacam-macam. Hisab yang paling sederhana adalah memperkirakan panjang bulan, apakah 29 atau 30 hari, dalam rangka menetukan awal bulan baru qomariyah, tujuan lainnya adalah kapan terjadi ‘ijtima, sebagian ahli hisab berpendapat, jika ‘ijtima terjadi sebelum matahari terbenam (‘ijtima qabla al-ghurub), maka ia menandakan sudah masuk bulan baru. Ada pula hisab dengan cara menghitung kehadiran (wujud) hilal diatas ufuk ketika matahari terbenam (ghurub). Jika menurut perhitungan, hilal masih berada diatas ufuk ketika matahari terbenam, maka dipastikan sudah masuk bulan baru, berapa pun ketinggian hilal itu.Jadi hisab pun memiliki jenis-jenis, diantara jenis-jenis hilal sebagai berikut[2];



1.      Hisab ‘urfi
Hisab ‘urfi telah dipergunakan sejak zaman khalifah kedua, Umar bin Khatab ra. (tahun 17 H), dengan menyusun kalender islam untuk jangka waktu panjang. Hisab ini dilakukan dengan cara merata-ratakan waktu edar bulan mengelilingi bumi.
2.      Hisab haqiqi (wujudul hilal)
Hisab haqiqi hanya memperhitungkan wujud hilal diatas ufuk pandangan atau ufuk sesungguhnya. Dasar anggapanya adalah, asalkan hilal ada diatas ufuk maka keesokan harinya dapat dipastikan merupakan awal bulan baru. Seberapa tinggi hilal berada diatas ufuk dan seberapa jauh arah pandanganya dari arah ke matahari, tidak dipersoalkan. Jelaslah, hisab haqiqi masih kurang realitis.
3.      Hisab imkanu rukyat
Secara harfiyah, hisab imkanu rukyat berarti “ perhitungan kemungkinan hilal terlihat .” selain memperhitungkan wujudnya hilal diatas ufuk, pelaku hisab juga memperhitungkan factor-faktor lain yang memungkinkan terlihatnya hilal.
A3. Rukyah
     Secara harfiyah, rukyah berarti “ melihat”. Arti yang paling umum adalah “ melihat dengan mata kepala” . jadi, secara umum, rukyah dapat dikatakan sebagai “pengamat terhadap hilal”. Sesuai dengan sunnah nabi, rukyah dilakukan dengan mata telanjang. Pengalaman rukyah seperti ini sangat individual dan subjektif[3].

B.     Nahdalatul Ulama

     Dalam menentukan kepastian awal bulan Qomariyah, khususnya awal bulan ramadhan dan dua ‘iddain, NU lebih mendasarkan pada rukyah, bukan pada hisab,, sesuai dengan nash dan aqwalul ‘ulama yang dipegangi, demikian keterangan dalam situs resmi NU.Alasan NU dalam pengunaan metode rukyah adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnanaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran)[4].
     Sumber dalil yang sering dipakai oleh NU untuk menentukan awal qomariyah khususnya awal ramadhan dan dua ‘iddain, diantaranya hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh dua imam hadits besar yakni imam bukhari dan muslim, sebagai berikut:

حدثنا أبو بكربن أبي شيبة . حدثنا أبو أسامة. حدثنا عبيد الله عن نافع, عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم ذكر رمضان . فضرب بيديه فقال :{الشهر هكذاوهكذاوهكذا (ثم عقد إبهامة في الثالثة) فصوموا لرؤيته. وأفطروا لرؤيته. فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين}[5]

     Hadits diatas ini yang sering dipakai dan di jadikan sandaran bagi NU untuk memakai rukyat, bahkan hadits ini didalam kitab syarah nawawi dan dalam kitab Bukhari memiliki teks yang sama. Oleh karena demikian itu, Dalam menentukan awal bulan qomariyah NU memiliki empat tahapan, empat tahapan ini juga bersumber dari hadits lanjutan diatas, empat tahapan itu, sebagai berikut:
1.      Tahap pembuatan hitungan hisab.
     Ilmu falak berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan danpemanfaatannya.

     Setiap menjelang awal tahun, Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanac atau kalender setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
     Hisab yang digunakan sebagai pemandu dan pendukung rukyah didasarkan pada metode rukyah yang tinggi akurasinya, terutama dari karya para ahli di kalangan NU, seperti antara lain: al-Khulashatul wafiyah karya KH Zubair Umar; Badi’atul Mitsal dan Durusul Falakiyah karya KH Ma’shum Ali; Nurul Anwar karya KH Noor Ahmad SS; Irsyadul Murid karya KH Ahmad Ghazali Muhammad Fathullah; Mawaqit karya Dr Ing H Khafid; dan Hisab dan Rukyah dalam Teori dan Praktik karya Drs H Muhyiddin, M Si. Metode-metode ini termasuk kelompok tingkat haqiqi tahqiqidan tadqiqi (kontemporer).
Selain hitungan hisab didasarkan pada metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga menerima haddu imkanir rukyah (kriteria visibilitas hilal). Kriteria imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan hasil rukyah, sedang secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum memungkinkan dirukyah. Tetapi hisab imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai sumber utama dalam menentukan penentuan awal bulan qamariyah.
     Perhitungan hisab awal bulan qamariyah yang didasarkan pada metode haqiqi tahqiqi, tadqiqi/’ashri (kontemporer) dan kriteria imkanur rukyah, digunakan untuk memandu dan mendukung penyelenggaraan rukyatul hilal.
2.      Penyelenggaraan rukyatul hilal.
     Sesungguhnya rukyat atau observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab atau ilmu astronomi.
     Rukyat atau observasi adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat atau observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi. Tanpa ada rukyat atau observasi yang berkelanjutan, maka ilmu hisab akan mandeg/statis. Dengan demikian rukyat itu ilmiah.
Di satu sisi rukyat berfungsi mengoreksi hitungan hisab, dan di sisi lain ilmu hisab atau astronomi menjadi pemandu dan pendukung rukyat.
Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah. (Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas di          rubrik   Syari’ah)
     Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (saat ini ada 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i.
3.      Berpartisipasi dalam sidang itsbat
     Hasil penyelenggaraan rukyatul hilal di lapangan dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan             Rasulullah SAW.       
     Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana  yang telah tersebut dalam hadits.   

Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibn             Hibban)

dalam Hadits ini menjelaskan dan menunjukkan :  
> Tingginya semangat melaksanakan rukyat di kalangan para sahabat
> Para sahabat tidak memutuskan sendiri dan tidak mau mendahului Rasulullah   SAW
> Itsbat sepenuhnya ada di tangan Rasulullah SAW. baik sebagai Rasul Allah, maupun sebagai kepala  negara          
> Itsbat Rasulullah SAW. berlaku bagi semua kaum Muslimin dan mengatasi perbedaan yang mungkin timbul di kalangan sahabat

     Itsbat suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota BHR, wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat. Dalam kesempatan ini, NU melaporkan hasil penyelenggaraan rukyatul hilal dan perhitungan hisabnya sebagai bentuk partisipasi dalam rangka itsbat.   
     Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh NKRI tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. dan para sahabat.
Ikhbar.



4.      Ikhbar (pemberitahuan)
     Setelah dikeluarkan itsbat, maka Nahdlatul Ulama mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat.
     Ikhbar akan mempunyai daya dukung terhadap itsbat, jika Menteri Agama RI memutuskan atas dasar dalil rajih. Sebaliknya ikhbar berfungsi sebagai kritik atas itsbat yang tidak didasarkan pada dalil rajih.
Ikhbar adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan.         
     Dari paparan di depan, dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan memperhatikan 4 aspek, yaitu:         
>Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
>Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentangdzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
>Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
>Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan

C.    Muhammadiyah

     Jika NU lebih mengutamakan penggunaan rukyah dari pada hisab, maka Muhammadiyah cenderung mengunakan hisab, meskipun tidak melupakan metode rukyah. Munir Mulkhan menulis, bahwa Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyah. Namun demikian berdasarkan iptek dan pola kehidupan masyarakat maka pelaksanaan rukyah dilakukan dengan menggunakan hisab.
     Dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar tanggal 1-7 mei 1932, salah satu butir keputusannya: “As-Shaumu wal fithru bir rukyati wala mani’a bil hisab” (“berpuasalah dan berbukalah [berhari raya] dengan rukyah dan tidak ada halangan dengan hisab”). Sementara itu dalam muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 tentang hisab dan rukyah diambil kesimpulan bahwa[6]:
Ø  Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyah sebagai pendoman penetapan awal bulan qomariyah terutama awal ramadhan dan dua ‘iddain.
Ø  Hisab sebagaimana tersebut pada poin pertama yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan pengembangan pemikiran islam pimpinan pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
Ø  Matlak yang digunakan adalah Matlak yang didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
Ø  Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan qomariyah tersebut membelah wilayah Indonesia maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada kebijakan

     Selain hal tersebut diatas tarjih dalam HPT menjelaskan sebagaimana uraian berikut: Berpuasalah dan ‘dul fitri itu dengan rukyah dan tidak berhalangan gengan hisab. Dalil- dalil yang digunakan sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman Allah yang artinya:

“Dialah Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak, dia menjelaskan tanda-tanda (kebesarannya) kepada orang-orang yang mengetahui”. (QS. Yunus:5)

Juga firman Allah, yang artinya:

“Tidaklah mungkin bsgi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (QS. Yaassin : 40)

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”
(QS. Ar-Rahman:5)

Juga hadis yang artinya:

"Dari  Kuraib  (diriwayatkan  bahwa)  sesunggguhnya  Ummu  Fadhl  binti  al-Harits mengutusnya menemui Mu'awiyah  di negeri Syam.  Ia  berkata: Saya  tiba  di negeri Syam  dan melaksanakan  keinginannya. Dan masuklah  bulan Ramadhan  sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari Jum'at, selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadaan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab : Kami melihat hilal pada malam hari Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya ? maka Jawab Kuraib, benar, dan orang yang lain juga melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah  ibn  Abbas  berkata:  Tetapi  kami  melihat  hilal  pada  malam  hari  Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri.  Saya  (Kuraib)  bertanya:  Apakah  kamu  (Abdullah  bin  Abbas)  tidak  cukup mengikuti  rukyatnya  Mu'awiyah  (di  Syam)  dan  puasanya.  Abdullah  bin  Abbas menjawab: Tidak, demikianlah yang Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).  

     Selanjutnya,  Tarjih  Muhammadiyah  menyatakan  apabila  Ahli  Hisab menetapkan bahwa bulan tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya  ada orang yang melihat pada mu‘tabar, maka Majlis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu‟tabar. 
     Hal  ini di dasarkan  hadis  yang  artinya:  ―Menukil  hadis dari Abu Hurairah r.a.  yang  berkata  bahwa  Rasulullah  bersabda:
  “Berpuasalah  karena  kamu  melihat tanggal  dan  berbukalah  (berlebaranlah)  karena  kamu melihat  tanggal,  bila  kamu  tertutup oleh mendung, maka  sempunakanlah  bilangan  bulan  Sya‟ban  30  hari”  (HR. Bukhari  dan Muslim)
     Ismail Thaib, dalam Majalah  Suara Muhammadiyah pernah menulis  bahwa Putusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagaimana disebutkan di muka, yakni “As-Shaumu wal fithru bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab” (‖Berpuasa dan berbuka [berhari  raya]  dengan  rukyat    dan  tidak  ada  halangan  dengan  hisab‖) merupakan putusan  yang  bijaksana.  Namun  demikian,  tidak  dipungkiri  bahwa  selama  ini Muhammadiyah cenderung mengedepankan metode hisab dari pada rukyat.
     Ismail  secara  rinci  mencoba  menjelaskan  kembali  masalah  hisab  sebagai metode  yang digunakan  oleh Muhammadiyah dalam penentuan  awal Ramadhan, dan  jatuhnya  Idul  Fitri  dan  Idul Adha,  secara  lebih mendalam  dilihat  dari  sudut pandang  syariat  Islam.  Menurutnya,  perintah  Nabi  Saw  dalam  sabdanya  yang artinya:  ―Berpuasalah  kamu  karena  melihat  bulan  dan  berbukalah  (berhari  raya) kamu karena melihat bulan..‖ mesti ditafsirkan  tidak sempit. Bahwa perintah Nabi itu dan Hadits-hadits  lain yang  semakna dengan  itu masih bersifat  lepas  (mutlak) belum  dikaitkan  dengan  illat. Oleh  karenanya,  demikian  Ismail,  apabila  ada  nash (Hadits)  lain  yang  memautkan  perintah  itu  dengan  suatu  illat,  maka  ketika  itu persoalannya menjadi  lain, menjadi  berbeda  dan  illat  itu  ada  pengaruhnya  dalam pemahaman  Hadits  tersebut  dan  hukum  berjalan  sesuai  dengan  illat  itu  dalam penjabaran (tathbiq) atau operasionalnya. 
    Penggunaan  metode  hisab  oleh  Muhammadiyah  didasarkan  pada  alasan, salah  satunya  adalah  Hadits  Nabi  sebagaimana  tersebut  di  atas,  bukanlah  satu satunya hadits dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits lain yang lebih jelas  menjelaskan  illat-nya, yaitu hadits  riwayat Muslim dan  lain-lainnya, di mana Nabi bersabda yang artinya: 
 “Sesungguhnya kita ummat yang ummi  (buta aksara)  tidak bisa menulis dan  tidak bisa menghitung (hisab), bulan itu begini dan begini” 

     Hadits di atas menurut  Ismail, dianggap pokok dalam masalah hisab, karena seakan-akan  Rasulullah  mengatakan  bahwa  berpegang  kepada  rukyat  lantaran kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum mengenal ilmu hisab.
     Di  dalam  sebuah  buku  tentang  Pedoman  Hisab  Muhammadiyah,  disebutkan bahwa dalam konteks ke-Indonesiaan penggunaan  hisab  lebih memungkinkan dan lebih  praktis  karena  dapat  menentukan  tanggal  jauh  sebelumnya  dan  dapat menentukan  masa  depan  secara  lebih  pasti,  sehingga  persiapan-persiapan  dapat dilakukan  secara  lebih  tepat  perhitungan  dan  jauh  sebelumnya.  Perhatian  dan orientasi ke depan adalah salah satu prinsip ajaran Islam dan sekaligus cermin sikap modern. 
     Selain  itu  penggunaan  hisab  ini  juga  mencerminkan  kepercayaan Muhammadiyah  kepada  ilmu  pengetahuan,  yang  juga merupakan  prinsip  ajaran Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
     Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik  Indonesia  yang  "besarnya  hampir  sama",  maka  Pimpinan  Pusat Muhammadiyah  akan  menggunakan  kriteria  wujudul  hilal  nasional  dalam menentukan  awal  bulan  Qamariah,  khususnya  awal  Ramadan,  Syawal,  dan Zulhijah.  Kriteria  wujudul  hilal  nasional  merupakan  teori  di  mana  awal  bulan Qamariah  dimulai  apabila  setelah  terjadi  ijtimak  (conjunction) matahari  tenggelam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset); pada saat itu posisi bulan di  atas  ufuk  di  seluruh wilayah  Indonesia. Artinya  pada  saat matahari  terbenam (sunset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
     Namun  jika  garis  batas  wujudul  hilal  membelah  dua  wilayah  kesatuan Republik  Indonesia  dan  sebagian  besar  sudah wujud maka  diberlakukan  konsep matla‟ sebagaimana yang tertuang dalam putusan Munas Tarjih di Makassar.

PENUTUP

KESIMPULAN

    
   Menurut Al-Ghazali, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, Hilal dalam bahasa arab sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam ( ه – ل- ل) , sama dengan terbentuknya kata fi’il- هلّ اهل. Hilal artinya bulan sabit yang tampaki menurut, jadi menurut bahasa arab, hilal itu adalah bulan sabit yang Nampak pada awal bulan.
     Hisab dalam bahasa arab berarti “perhitungan” atau “hitungan” . tujuan hisab adalah memperkirakan kapan awal suatu bulan qomariyah, terutama yang berhubungan dengan suatu ibadah.
     Secara harfiyah, rukyahberarti “ melihat”. Arti yang paling umum adalah “ melihat dengan mata kepala” . jadi, secara umum, rukyah dapat dikatakan sebagai “pengamat terhadap hilal”. Sesuai dengan sunnah nabi, rukyah dilakukan dengan mata telanjang. Pengalaman rukyah seperti ini sangat individual dan subjektif.
     Alasan NU dalam pengunaan metode rukyah adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnanaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Munir Mulkhan menulis, bahwa Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyah. Namun demikian berdasarkan iptek dan pola kehidupan masyarakat maka pelaksanaan rukyah dilakukan dengan menggunakan hisab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al karim
IMAM ABI ZAKARIA YAHYA BIN SYARIF AN-NAWAWI, SHAHIH MUSLIM BISYARI AN-NAWAWI.AL-QOHIRAH.2001
BJ HABIBIE, rukyah dengan teknologi.GEMA INSANI PRESS, 1994
M. yusuf amin nugroho, fiqh al ikhtilafi NU Muhammadiyah, e-book
Farid ruskanda, 100 masalah hisab dan rukya



[1]M. yusuf amin nugroho, fiqh al ikhtilafi NU Muhammadiyah, e-book. Hal. 109-110
[2]Farid ruskanda, 100 masalah hisab dan rukyat, gema insani press,1996. hal. 29-30
[3]BJ HABIBIE, rukyah dengan teknologi.GEMA INSANI PRESS, 1994. Hal. 20
[4]Ibid, hal. 110
[5]Shahih muslim bisyari an-nawawi. Hal 187
[6] Ibid. hal.115

2 komentar: